Terdengar getaran ponsel di atas nakas tempat tidur. Sebuah tangan terulur dari balik selimut menghentikan getaran itu dan berkata lemah, “Halo?”
Suara berat di seberang sana membalas dengan riang. “Halo, Sayang? Udah bangun belum?”
Masih dengan suara malas dan mengantuk Anya menjawab, “Halo, Pa ... baru bangun ini....”
Erik tertawa ringan. “Waah, Papa ganggu tidurnya putri tidur nih ... Tapi gimana dong, sang putri kan ada janji dengan papa tercinta.”
Mau tak mau Anya tertawa mendengar Erik masih menyebutnya putri tidur seperti waktu kecil dulu. “Iya iya, Anya udah bangun nih. Jam sebelas kan Papa jemput? Sekarang masih jam delapan.”
Anya duduk di tepi tempat tidur. Dengan ponsel masih menempel di telinga, ia meregangkan badannya. Sesekali mengangguk dan bergumam menjawab pertanyaan Erik.
“Oke, Pa, sampai nanti.” Anya menutup percakapan singkat dengan Erik dan hendak meletakkan ponsel di meja ketika sebuah pesan singkat masuk.
“Pagi, Nya. Gimana perasaanmu hari ini? Masih semangat ketemu om Erik kan?”
Anya membaca pesan dari Alex dan segera membalasnya. Tak lama, balasan dari Alex muncul.
“Apa kamu masih perlu bantuanku?”
Anya terdiam. Semalam ia mendapat ide konyol. Ia menimbang-nimbang apakah gagasan itu perlu dilakukan atau tidak.
“Seseuai rencana kemarin aja.” Anya membalas pesan Alex setelah mengambil keputusan.
“Siap! Apa sih yang enggak buat Anya-ku tersayang!”
“Bodoh!” balas Anya disertai emot marah.
“Terserah kamu, tapi aku tetap menganggapmu kesayanganku!”
Anya melihat simbol hati di kalimat terakhir Alex dan menggelengkan kepala. “Dah lah! Aku mau mandi dulu. Capek ngomong sama tembok kayak kamu!”
“Kita ini lagi ngetik lho, bukan ngomong.”
Gemas rasanya membaca kalimat-kalimat yang dikirim Alex, sampai Anya membalasnya dengan emot marah dan tutup mulut, menandakan ia tak mau melanjutkan lagi.
Benar saja, akhirnya ponsel itu berhenti memberikan notifikasi pesan. Anya menghela napas lega.
Anya keluar dari kamar dan mendapati rumah yang kosong. Lily sudah berangkat dari pagi. Ia sengaja tidak membangunkan Anya tiap akhir pekan. Seperti biasa, saat libur seperti ini, Anya tetap melakukan tugas rumah sehari-hari. Setelah itu ia bisa bersantai sejenak.
Pukul sebelas tepat terdengar suara mobil yang terparkir di depan rumahnya. Anya yang sudah siap dengan kaus lengan pendek, celana jins, dan sepatu kets segera keluar dari kamar. Ia mendapati Erik sudah berada di depan pintu ketika membukanya.
“Halo, Sayang! Lama nggak ketemu, Papa kangen,” sapa Erik langsung memeluk putri semata wayangnya.
Anya hanya mengangguk. Ia masih merasa enggan dengan pertemuan hari ini. Namun, ia berusaha menikmatinya.
“Wah, anak Papa tambah cantik aja nih!” Erik memberi pujian saat mereka sudah berada dalam perjalanan. “Sudah punya pacar belum?”
Sedikit terkejut Anya menolehkan kepala pada Erik. “Pacar apaan! Mana ada yang mau sama Anya?” Setelah kalimat itu terlontar, Anya teringat kata-kata Alex yang sering ditujukan padanya. Namun, ia menepisnya.
“Lho kok bilang gitu sih? Memangnya kenapa kok nggak mau sama Anya?”
Anya diam. Ia lalu menjawab pelan, “Karena … gaya Anya seperti ini?”