Entah bagaimana akhirnya Farrel menemani Anya pulang padahal rumah Farrel tak jauh dari sekolah. Agak canggung Anya mengayuh sepeda di sebelah Farrel.
“Jangan kira gue lakuin ini dengan senang hati,” ujar Farrel seperti menebak pikiran Anya. “Gue lakuin ini demi Alex.”
“Lo udah marahin dia di kelas. Tangannya terkilir. Gua nggak tega aja harus nambah beban pikirannya kalau lo kenapa-kanapa di perjalanan. Ini udah mulai gelap. Bahaya cewek jalan sendirian.” Farrel menambahkan.
“Ternyata lo baik juga ya,” puji Anya.
Sambil membetulkan kacamatanya yang sedikit merosot, Farrel menoleh pada Anya. Sebuah senyum tipis menghiasi wajah gadis itu. “Lo bisa senyum juga ternyata,” ujarnya. “Biasanya judes.”
“Lo ngajak ribut?”
“Nah kan? Nyolot banget sih!”
“Ya udah pulang sana! Gue bisa pulang sendiri!” Anya mempercepat sepedanya. Ia berharap laki-laki itu tidak mengikutinya lagi.
Tak lama Farrel sudah mensejajari sepedanya tapi Anya tak peduli. Farrel juga tak berniat untuk membuka percakapan. Mereka bersepeda dalam diam.
Beberapa meter lagi gerbang komplek Anya terlihat. Farrel terus bersepeda di sebelah Anya. Setiap kali gadis itu mempercepat lajunya, Farrel mengikutinya.
“Gue penasaran,” ujar Farrel.
“Apa?” Anya balik bertanya tanpa menoleh.
“Kenapa lo nolak Alex terus? Bukannya lo juga suka?” Pertanyaan yang sudah lama berdiam di kepalanya, terlontar begitu saja.
“Hah? Siapa bilang?”
“Nggak usah ngelak. Udah kelihatan dari paniknya lo tadi.”
“Jelas panik lah, kalau sahabat gue kenapa-kenapa! Lo panik juga kan?”
“Beda lah! Kenapa harus bohongin diri sendiri sih?”
Anya diam. “Lo nggak tahu masalahnya,” jawab gadis itu pelan. Ia memperlambat sepeda dan akhirnya berhenti sesudah memasuki gerbang perumahan. Farrel berhenti di sebelahnya.