“Anya, mau ke mana?” tanya Alex saat Anya melewatinya begitu saja tanpa menoleh. Sore itu Alex berniat berkunjung ke rumah Anya. Mereka sudah berjanji akan bermain bersama.
Alex mengejar Anya dari belakang dengan sepedanya. “Anya! Tunggu! Kamu mau ke mana?” Ia mengayuh sepeda lebih cepat dan berhasil menghadang Anya di depan taman.
“Kamu mau ke mana?” Alex mengulang pertanyaannya.
Gadis yang masih mengenakan seragam putih biru itu tidak menjawab. Namun, samar-samar Alex mendengar isak tangis dari sosok Anya yang menunduk dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
Perlahan Anya mengangkat kepalanya. Alex terkejut mendapati wajah manis itu basah karena air mata. Selama berteman sejak usia tujuh tahun, ia tak pernah melihat temannya itu menangis. Bahkan ketika jatuh dari pohon, ia tetap tertawa. Lalu mengapa hari ini ia menangis?
Alex terbangun saat bayangan Anya yang menangis memenuhi kepalanya. Masa SMP adalah masa yang berat bagi gadis itu. Titik balik kehidupan Anya bermula dari sana. Perceraian orang tuanya, juga perpisahan dengan sahabatnya, merupakan penyebab berubahnya sosok Anya yang riang dan lembut, menjadi cuek dan sedikit kasar. Ia bahkan memotong rambut panjang kesayangannya dan membiarkannya tetap pendek hingga sekarang.
Layar ponsel Alex menunjukkan pukul delapan malam. “Seharusnya dia sudah selesai kan?” Alex bergumam sendiri. Ia menekan nama Anya di ponsel dan seketika nada sambung terdengar.
Tak lama, telepon itu terangkat. Belum sempat Alex mengatakan halo, suara di seberang langsung menyemprotnya.
“ALEXIUS! Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu cedera tadi?! Kamu nggak apa-apa kan?!”
Alex menjauhkan ponselnya. Suara panik Anya cukup memekakkan telinga dan membuat kepalanya berdenyut-denyut.
“Tadi Farrel bilang kamu jatuh waktu main bola, dan pulang duluan. Lalu lenganmu-.”
“Hei, Nona, sabar dulu.” Alex memotong kalimat Anya. Nada suaranya menunjukkan kalau gadis itu benar-benar mengkhawatirkan keadaannya.
Anya terdiam, lalu menjawab lirih, “Ah, sori. Aku terlalu panik soalnya.”
Senyum Alex mengembang. “Aku nggak apa-apa kok. Cuma lengan kiriku aja terkilir waktu jatuh tadi.” Alex menenangkan gadis itu.
Terdengar helaan napas lega Anya. “Lalu … kenapa kamu nggak ngasih kabar?” Anya melembutkan suaranya.
“Kupikir kamu masih marah padaku, jadi ya….” Alex membiarkan kalimatnya menggantung di udara.
Hening. Laki-laki itu menunggu respons dari seberang. Hanya embusan napas Anya terdengar di telinga Alex. Kemudian setelah beberapa kali tarikan napas, ia mendapat jawabannya.
“Yang tadi itu … sori … aku terlalu lebay.”