“Papa mamaku mau pisah … aku nggak mau … Huaaaaahhh!”
Gadis itu meraung dan menangis dengan keras. Entah sudah berapa kali ia menangis, berhenti, menangis, berhenti, lalu menangis lagi setelah mengucapkan beberapa kata.
Anak laki-laki yang duduk di sampingnya tak tahu harus berkata apa untuk menghiburnya. Ia hanya bisa menepuk-nepuk punggung anak perempuan itu. Permasalahan orang dewasa masih tak mampu dipahami oleh anak kelas 1 SMP. Sering ia mendengar atau melihat perpisahan seperti ini di acara televisi, tapi tak menyangka akan terjadi pada orang di sekitarnya.
Beberapa waktu berlalu dan mereka masih berada dalam posisi yang sama. Keduanya duduk di rerumputan taman. Si anak perempuan duduk dengan lutut ditekuk sebagai tumpuan wajahnya. Rambut panjangnya menjuntai ke bawah menyembunyikan seluruh lara di baliknya. Sementara itu, si anak laki-laki merangkulnya, sebagai tanda ia akan selalu menemaninya.
“ANYA!”
Seruan panik seorang wanita membuat keduanya menoleh. Sontak Anya menyembunyikan diri di balik tubuh si anak laki-laki setelah mengetahui siapa yang bergegas mendatanginya.
“Aku nggak mau pulang!” teriak gadis itu.
Alex melihat wanita itu berjongkok di depannya. Wajahnya kusut dan sembab. Masih terlihat bekas air mata di sudut mata dan pipinya. Seorang pria turut berjongkok di samping wanita itu. Sorot matanya memancarkan kesedihan yang amat sangat.
“Alex bisa tolong Tante?” Lily memohon. Ia tahu bahwa kali ini putrinya tak mau mendengar apapun ucapannya. Setelah obrolan singkat tentang perceraiannya dengan Erik, Anya menghambur keluar rumah. Hal itu menyulut lagi pertengkaran keduanya yang tak kunjung selesai karena saling menyalahkan.
“Bisa katakan pada Anya untuk pulang ke rumah? Bisa ya? Tante mohon….” Butiran bening yang ia tahan, akhirnya mengalir di pipinya.
Alex menoleh ke belakang. Anya masih tak mau menampakkan diri. Ia lalu memandang Lily dan Erik bergantian. Perlahan ia memberi anggukan atas permintaan Lily.
“Terima kasih,” kata Lily dengan senyum yang dipaksakan.
Lily bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan kedua anak itu. Erik mengikutinya setelah memberi anggukan terima kasih pada Alex.
“Mereka udah pergi. Kamu bisa keluar sekarang,” kata Alex. Ia bisa merasakan jemari Anya mencengkeram bajunya dengan erat.
Pelan-pelan Anya melongokkan kepalanya dari bahu Alex, memastikan bahwa kedua orang tuanya sudah pulang. Ia lalu menghela napas panjang.
“Lalu aku harus gimana?”
“Kamu tadi dengar sendiri kan? Kamu harus pulang. Kamu nggak mungkin di sini terus.”
“Tapi aku nggak mau!” Anya merengek. Ia mencabuti rumput-rumput di sekitarnya dengan kesal.