“Tumben dari kemarin lo telat terus, Lex?” Farrel bertanya heran pada Alex saat istirahat di kantin.
Alex menjawab dengan mengangkat bahunya. Ia mencomot pisang goreng di meja dan melahapnya dengan sekali suap.
Suasana kantin saat itu sedang ramai. Alex, Farrel, dan beberapa kawan lainnya berada di sudut kantin yang berdekatan dengan taman. Mereka makan sambil bercakap-cakap. Di atas meja panjang itu berderet berbagai macam makanan ringan dan minuman yang dipesan oleh mereka.
“Dan tumben juga lo nggak sama Anya.” Farrel menambahkan sambil menyeruput teh botolnya.
“Lo bikin gara-gara lagi sama Anya?” tanya Rudy yang duduk di seberang Alex.
“Kalian ini kayak Tom and Jerry aja. Sebentar mesra, sebentar berantem.” Yang lain ikut menyeletuk.
Alex tidak menjawab melainkan terus menghabiskan makanannya dengan santai seperti tidak mempedulikan hal itu. Padahal di dalam hatinya ia juga mengajukan pertanyaan yang sama.
Sudah beberapa hari ini Alex berangkat dan pulang sekolah sendirian. Tiap jam istirahat gadis itu tak nampak. Puluhan telepon dan pesan darinya pun tidak diacuhkan Anya.
“Gue nunggu Anya kayak biasa, tapi dia nggak datang. Tahu-tahu udah di sekolah.” Alex menjelaskan pada Farrel sambil menyalin catatan di bukunya.
Farrel mengernyitkan dahi. Atensinya beralih dari buku pada sosok bingung di sampingnya.
“Gue susul ke rumahnya, eh dia udah berangkat juga,” imbuh Alex tampak kesal. Ketukan pensil pada meja menunjukkan kegelisahannya.
“Jadi, sekarang Anya menghindari lo?” tebak Farrel.
Seketika Alex mendongak dari bukunya. Ia memberi tatapan pada Farrel seolah itulah jawaban yang ia cari selama ini.
“Eh, iya bener! Kayaknya Anya menghindari gue deh!”
Desahan kesal yang berulang kali Farrel keluarkan saat membicarakan Anya, membuat lelaki yang sedang jatuh cinta itu semakin tak mengerti.
“Tapi kenapa ya? Biasanya juga nggak pernah begini.”
Farrel menarik kursinya ke samping Alex, dan berbisik dengan wajah serius. “Lo habis ngapain dia?”
“Kenapa emangnya?” Alex balik bertanya polos.
“Ya … pasti ada sesuatu yang bikin dia nggak mau ketemu lo, ‘kan?”
Alex tampak memikirkan sesuatu. Dahinya berkerut. Farrel menatapnya tak sabar dengan rasa ingin tahu yang menggebu-gebu, mengapa seorang Anya yang selama ini tak bisa jauh dari Alex, sekarang justru memilih untuk menghindar.
“Ehm….” Alex tampak ragu mengatakannya. “Gue nyaris cium dia,” tambahnya pelan. Ia kembali memandang deretan huruf dan angka di buku. Wajahnya bersemu merah karena malu telah melakukan hal seperti itu.
Untuk sekejap saja belakang kepala Alex terasa berdenyut-denyut. “Kenapa lo mukul gue?” desis Alex sambil melotot pada Farrel.
“Gila lo! Belum jadi pacar udah main nyosor aja! Pantesan dia marah!” Farrel menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Nggak kena kok!” elak Alex. Kali ini rasa panas menjalar di tulang keringnya.