Cukup lama mereka bertiga berdiri dalam keheranan tanpa ada yang bersuara. Anya memandang mereka bergantian dengan masih memegang setang sepedanya. Gavin memberikan senyum pada Anya dan melirik Alex. Ia menangkap sikap Alex tampak gugup dan salah tingkah di hadapan Anya.
“Halo, Kak Anya, lama tak jumpa,” sapa Gavin ramah sambil merentangkan tangan hendak memeluk Anya.
Anya mundur beberapa langkah. Matanya tampak takjub melihat sosok yang sudah jauh berbeda dari ingatannya dahulu.
“Kenapa kamu bisa setinggi ini?!” seru Anya. Kembali ia menatap Alex dan Gavin bergantian. Rasanya tak percaya bahwa Gavin yang dulu masih sering mengadu padanya saat diganggu Alex, sudah tumbuh jadi pemuda yang gagah.
Gavin kecil adalah anak yang pemalu dan tidak mempunyai teman. Anya mengajaknya bermain bersama karena rumah mereka berseberangan. Ia juga yang mengenalkan Gavin dengan Alex. Namun, karena usianya lebih muda, Alex sering mengganggunya. Gavin selalu mengadu pada Anya yang otomatis akan membelanya. Jika Alex menganggu Gavin, ia akan berurusan dengan Anya.
“Nah, apa kubilang tadi, kenapa kamu bisa kayak gini,” cerocos Alex merasa Anya membelanya kali ini. “Kamu udah kayak tiang listrik aja.”
Anya menatap Alex tajam.
“Eh, Nya, aku kan juga tinggi, kenapa selama ini kamu nggak pernah puji aku?” Alex merasa tidak terima. Mereka tumbuh besar bersama, tapi tak sekalipun Anya memberikan pujian seperti itu padanya.
Sekarang ia malah memuji bocah sialan ini! umpatnya dalam hati. Ia memberikan pandangan kesal pada Gavin.
“Bisa diam nggak sih? Aku lagi ngomong sama dia,” tegur Anya. Alex ingin melayangkan protes, tapi urung. Ia ingat sudah melakukan kesalahan sebelumnya dan belum mendapat maaf dari Anya. Jadi, wajar sekali Anya masih tak mau bicara dengannya.
“Kapan kamu balik ke sini?” tanya Anya pada Gavin.
Buru-buru Alex berpindah ke sisi Anya, seolah menunjukkan bahwa gadis itu miliknya. Meski belum terjadi, tapi ia yakini akan terjadi.
Sialan! Ngapain aku begini? Masa cemburu sama bocah ingusan ini?
“Baru tadi pagi,” jawab Gavin masih dengan senyum dan tatapan yang membuat hati Alex terbakar. “Aku akan tinggal di sini terus sekarang.”
“APA?!” Alex tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Ja-jadi … kamu nggak pindah lagi?”
“Iya, aku akan tinggal di sini mulai sekarang. Dan selamanya!” Gavin memberi penekanan pada kalimat terakhir. “Kenapa? Nggak boleh?”
Alex menggeleng cepat. “Nggak … nggak apa-apa! Tinggal aja di sini semaumu!”
“Ya memang itu yang akan kulakukan. Mungkin, kalau aku pindah ke sekolah kalian, bakal seru!” Gavin sengaja memanas-manasi Alex yang mendelik padanya.
“Ibu sehat? Waktu itu kamu pindah karena pengobatan ibumu kan?” Anya tak mempedulikan Alex yang berjalan mondar mandir di sampingnya.
“Iya, syukurlah Ibu sehat, jadi kami bisa kembali di sini,” jawab laki-laki itu. Wajahnya tampak lega.
“Ah, nanti aku harus mampir menyapa beliau.”
“Aku ikut, Nya,” sahut Alex tiba-tiba.
Anya masih mendiamkan Alex jadi tak menjawab ataupun mengiyakannya.
Gavin menyadari ada sesuatu yang salah di antara mereka. Meskipun dulu Anya dan Alex sering bertengkar karena membelanya, ia tahu hubungan keduanya sangat dekat. Mereka akan segera berbaikan dan berteman lagi.
Mungkinkah Alex sudah melakukan kesalahan yang fatal hingga Anya tidak mengacuhkan seperti ini? Pertanyaan itu muncul di benak Gavin.
“Aku tunggu kedatangan Kakak. Ibu pasti senang ketemu Kakak lagi.” Gavin mengangguk. Ia menangkap sorot tajam dari sosok di samping gadis itu.
“Iya,” balas Anya.