Sejak Gavin kembali tinggal di seberang Anya, hati Alex selalu gelisah tak menentu. Ia jadi bertingkah tidak seperti biasanya. Kadang melamun, kadang berlebihan dalam menanggapi sesuatu. Meski hubungannya dengan Anya membaik, tapi ada rasa khawatir yang menyusup di hatinya.
Farrel menangkap kegundahan sahabatnya, lalu bertanya, “Kenapa sih lo? Dari kemarin muka lo kusut amat!”
Alex menghela napas panjang lalu menelungkupkan kepalanya di meja. Farrel hanya memandangnya heran. Beruntung saat ini sedang jam kosong karena guru sedang rapat, sehingga mereka bisa mengobrol bebas.
“Lo bikin masalah lagi sama Anya?” tebak Farrel.
“Kenapa sih lo selalu nuduh gue yang bikin masalah sama Anya?” Suara Alex terdengar seperti jeritan putus asa karena selalu disalahkan.
“Biasanya gitu, ‘kan?” jawab Farrel asal, yang semakin membuat Alex mengerang seperti harimau kesakitan. “Apalagi ada pepatah mengatakan kalau cewek selalu benar. Jadi, ya lo yang salah!” tambahnya.
“Sialan!” Alex melempar bukunya pada Farrel yang dengan gesit menghindar sambil tertawa. Buku itu jatuh ke bawah meja. Dengan malas, Alex mengambilnya.
“Serius deh, Lex! Apa yang bikin lo bermuram durja kayak gini? Kayak bukan lo aja deh!”
Lagi-lagi Alex mengeluarkan suara erangan yang aneh. Farrel bergidik mendengarnya. Baru kali ini ia melihat sahabatnya bertingkah seperti orang tidak waras. Selain Anya, siapa lagi yang bisa membuatnya begini?
“Gue kayaknya belum pernah cerita soal ini,” kata Alex. Ia lalu menceritakan tentang Gavin dari awal perkenalan mereka, kepindahannya, dan kepulangannya beberapa hari lalu.
Setelah mendengarkan dengan seksama cerita Alex, Farrel tertawa. Cukup keras untuk di dengar sampai keluar kelas dan membuat beberapa anak menoleh.
“Jadi, lo khawatir dengan kehadiran bocah itu?” Tawa Farrel masih menggema ke seluruh ruangan yang berisik.
“Sssstt!” Alex membungkam mulut Farrel dengan tangannya. “Jangan berisik napa!”
“Ternyata lo yang selama ini percaya diri sama Anya, bisa insecure juga?” ledek Farrel.
“Aiiish! Salah gue udah cerita sama lo! Nggak ngasih solusi, malah ngeledek mulu!”
“Yah emang gue nggak bisa bantu apa-apa.” Farrel mengangkat bahu tanda pasrah. “Masalahnya lo cuma deket sama Anya, tapi bukan pacar. Jadi, lo bisa apa? Satu-satunya cara, ya lo harus jadi pacar Anya! Tapi kayaknya susah deh, Anya udah nolak lo berkali-kali.”
Alex tampak semakin putus asa.
“Kayaknya gue harus lebih gencar deketin Anya lagi, sampai dia mau!” Alex sudah memutuskan dengan yakin.
“Good luck!” ucap Farrel sambil menepuk-nepuk bahu Alex.
“Tapi gimana caranya? Segala cara udah gue coba.”
“Kasih bunga, coklat, makanan, buku, atau apa gitu yang Anya suka. Lo udah kenal lama, masa nggak ngerti kesukaannya apa?” Farrel berusaha memberi saran.
“Kasih perhatian, tapi jangan berlebihan. Cewek biasanya juga suka dipuji, tapi yang tulus, jangan modus. Eh, sama aja sih, lo begini juga modus buat dapetin Anya!” imbuh Farrel sambil terkekeh.
“Ah, lagak lo kayak udah ahli aja. Padahal pacar aja belum punya,” ejek Alex. “Lo nggak lagi suka sama siapa gitu, Rel? Siapa tahu gue bisa bantu.”