“Ngapain kamu di sini?!” Alex berteriak terkejut sambil menunjuk seseorang yang duduk di sebelah Anya di ruang makan.
Yang ditunjuk pun sama terkejutnya. “Lha, kamu ngapain juga ke sini?”
“Aku yang tanya duluan!” Alex tidak mau kalah. Ia memandang bergantian pada dua sosok di hadapannya. Pandangannya berhenti pada Anya seakan mencari jawaban dari sorot matanya.
Anya menghela napas malas menanggapi sikap Alex. “Aku janjian sama dia,” jawabnya. “Makanya tadi aku tanya, apa kamu yakin mau ikut. Kalau tahu begini, mending kamu pulang aja deh.”
Gavin mencibir Alex. Dengan gerakan tangannya ia tampak mengusir Alex. Tentu saja Alex tidak terima.
“Emang kalian janjian mau ngapain, berdua aja di rumah kosong begini?” Saking paniknya, Alex lupa bahwa ia juga pernah berdua saja dengan Anya di rumah ini.
Anya mengeluh melihat keributan tak penting ini. “Kamu nggak lihat apa kita lagi ngapain?”
Alex menatap meja makan yang penuh dengan buku-buku yang terbuka. Kemudian, ia menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
“Oh!” cetusnya sambil tertawa malu. “Eh, tapi kenapa belajarnya harus sama Anya?”
Geram karena tingkah Alex, gadis itu berdiri. “Mending kamu pulang deh, daripada bikin rusuh di sini!” Anya mendorong Alex hingga ke pintu keluar.
“Tu-tunggu, Nya!” Alex yang sudah berada di ambang pintu berbalik menghadap Anya yang memberi tatapan jengkel.
“Eh, Vin, kamu mau belajar apa sih?” Tiba-tiba Alex melesat masuk lagi melewati Anya menuju ruang makan tempat Gavin berada.
Anya menyusul Alex dan melihat laki-laki itu sedang menyombongkan diri di hadapan Gavin. Gelengan kepala ia berikan lantaran sikapnya yang kekanakan.
“Kalau mau belajar atau ada yang nggak bisa, tanya aku aja! Gini-gini aku peringkat ke-5 seluruh sekolah lho!” Alex membusungkan dada dengan bangga. Sekilas ia melirik Anya berharap ada sesuatu yang akan dikatakan gadis itu. Entah pujian atau pembenaran untuknya.
“Ya, ya, ya! Duduk yang benar kalau begitu!” perintah Anya pada Alex. “Awas, kalau berantem lagi!” Gadis itu mengacungkan telunjuknya pada Alex dengan nada mengancam.
“Siap!” Tangan Alex membentuk sikap hormat. Ketika melihat sebuah senyum terbentuk di wajah gadis itu, ia pun lega.
“Pelajaran kelas satu mah gampang!” lanjut Alex meremehkan. Ia lalu duduk di sebelah Gavin, sementara Anya pindah ke seberang meja.
Alex menarik sebuah buku dan mulai bertanya-tanya bagian mana yang tidak Gavin mengerti. Ia mengerahkan seluruh kemampuannya mengajari Gavin. Sesekali ia mengejek dan meremehkan Gavin hanya untuk pamer pada gadis yang disukainya. Selebihnya, ia cukup sabar menjawab dan menjelaskan apa yang ditanyakan Gavin.
Anya duduk bertopang dagu mengamati kedua pemuda yang sama-sama telah mengisi masa kecilnya. Waktu memang bisa mengubah segalanya. Kepindahan Gavin tiga tahun lalu telah membuat perubahan besar pada dirinya yang pemalu. Sekarang ia adalah pemuda yang tampan dan gagah. Gavin juga terlihat cukup dewasa di usianya yang masih 16 tahun. Mungkin karena Gavin yang selama ini mengurus ibunya yang sakit, membuatnya lebih bertanggung jawab dan mandiri.
Pandangan Anya beralih pada Alex yang sedang menulis sesuatu pada kertas di hadapan Gavin. Di mata Anya, Alex adalah seseorang yang ceria dan cenderung kekanakan. Ia selalu mengungkapkan perasaannya dengan lantang tanpa ragu. Meski memiliki otak cemerlang, Alex termasuk anak yang ceroboh. Bagaimanapun juga, laki-laki itu mempunyai tempat khusus di hatinya.
Alex menyadari gadis itu sedang mengamatinya. Ia mendongak dan tersenyum, membuat Anya tampak gugup dan segera memalingkan muka. Sekilas laki-laki itu menangkap rona merah di pipi Anya. Dengan senyum dan hati berbunga, ia kembali memusatkan perhatian pada pelajaran yang dibahas Gavin.
Diam-diam Anya masih mencuri pandang dari balik ponsel yang ia pegang. Tangannya menggeser-geser layar ponsel tak tentu arah. Tiba-tiba Anya berdiri.
“Ah, kalian mau makan apa? Aku masakin sesuatu. Tapi, maaf, seadanya aja, ya,” kata Anya hendak ke dapur.