Anya mengamati Alex yang sedang mengaduk-aduk mi goreng di hadapannya. Makanan di piring itu sudah terlihat menyedihkan dan berantakan, tetapi Alex tidak segera menghabiskannya. Padahal jam istirahat akan berakhir lima menit lagi.
Tampaknya Alex ingin mengatakan sesuatu, tetapi selalu mengurungkannya. Berkali-kali gadis itu memergokinya membuka mulut, kemudian menutupnya lagi. Ia juga memberikan tatapan aneh yang tidak dimengerti Anya.
“Kamu kenapa sih?” tanya Anya. Ia menggeser gelas minumnya ke samping dan mengamati Alex dengan pandangan menyelidik.
Alex membuka mulutnya, tetapi tak satu pun kalimat yang keluar. Pada akhirnya yang ia lakukan adalah menyuapkan makanannya ke dalam mulut dan mengunyah dengan cepat. Beberapa detik kemudian piring itu telah tandas, sedangkan Alex masih belum berhasil mengatakannya.
Sebenarnya Alex ingin menjelaskan kesalahpahaman tentang Audrey dan dirinya. Namun, mengingat ia sudah pernah melakukan kesalahan, ia ragu. Ia tak ingin berakhir dengan Anya akan mendiamkan dirinya lagi seperti waktu itu. Alex pun tidak yakin Anya mau membahasnya. Jika ia terus memaksa, semuanya akan jadi runyam.
Jika menjelaskan salah paham ini akan membuatnya marah, maka satu-satunya cara adalah membuatnya percaya kalau ia menyukainya.
“Kamu sakit? Kamu aneh banget hari ini.” Anya hendak menyentuh dahi Alex, tetapi laki-laki itu segera menangkapnya. Walau terkejut, Anya membiarkannya saat mengetahui Alex justru menundukkan kepala.
“Nggak … aku nggak apa-apa,” jawab Alex tanpa memandang sosok yang mengamatinya dengan khawatir. Ia lalu melepas tangan Anya.
Pemandangan yang sangat langka bagi gadis itu. Alex yang Anya kenal akan selalu melihatnya tanpa berkedip dengan mata berbinar-binar. Sekarang Alex menunduk menatap piringnya yang kosong.
“Lex, kamu beneran nggak apa-apa? Mukamu merah,” tanya Anya masih tetap mengamati Alex. “Mau kutemani ke UKS?”
“Daripada itu, besok kamu temani aku jalan, ya?” Alex mengangkat kepalanya. Wajah Anya yang terkejut tampak jelas di matanya.
“Ah, kirain kamu kenapa, tiba-tiba kayak gini,” kata Anya tak menjawab ajakan Alex. Ia duduk kembali dengan tangan dilipat di dada, tampak sedikit kesal karena merasa terjebak dengan sikap Alex.
“Serius, Nya, besok jalan sama aku, ya! Terserah deh, mau ke mana! Kamu yang pilih tempatnya.” Alex bersungguh-sungguh. Mereka berdua memang sering berjalan bersama, tetapi tak pernah jauh dari lingkungan sekolah dan rumah, selain dengan Erik sebelumnya. Kali ini Alex berniat mengajak Anya ke tempat lain.
“Aku nggak bisa,” jawab Anya.
“Kenapa? Kamu ada janji lain? Sama siapa? Ke mana?” cecar Alex. “Ini bukan jadwalmu ketemu Om Erik, ‘kan?”
“Bukan. Aku balik ke kelas dulu.” Anya berlalu tanpa menjawab lagi. Alex segera menyusulnya ke koridor menuju kelas.
“Kamu beneran nggak mau kasih tahu aku?”