Alex turun dari kamar dan mendapati kedua orang tuanya sedang sibuk memindahkan barang ke ruang tamu. Beberapa perkakas dan kardus-kardus besar dikeluarkan dari kamar yang sudah menjadi gudang. Seketika ruang tamu menjadi penuh sesak dengan barang-barang yang tak terpakai itu.
“Kenapa semua barang dikeluarkan?” tanya Alex heran sambil menuruni tangga.
“Kebetulan, Lex, kamu udah bangun. Bantuin mindahin barang-barang ini dong!” kata Irene setelah melirik sekilas pada Alex yang masih termangu di ujung anak tangga. Ia kembali sibuk mengurusi kardus-kardus itu tanpa mempedulikan tatapan enggan Alex.
Alex mengamati seluruh ruang tamu yang penuh dengan berbagai barang lama yang sebagian sudah using. Beberapa masih tampak baru. Buku-buku pelajaran SMP Alex, baju-baju yang sudah kekecilan, beberapa kardus sepatu, boneka, mainan mobil-mobilan, dan entah apa lagi yang tersimpan di gudang itu, sekarang tampak berserakan di lantai dan sofa ruang tamu.
“Tapi, kenapa semuanya dikeluarkan? Apa mau dibuang?” Alex bertanya lagi. Ia mengambil sebuah boneka kelinci dari kardus di dekatnya. Boneka kelinci putih dengan tangan yang memegang wortel itu terlihat kusam karena tidak terawat. Ia mengelus bulu lembut boneka itu dan sebuah ingatan melintas di kepalanya.
Boneka itu Alex berikan pada Anya untuk menghibur gadis itu setelah perpisahan orang tua dan sahabatnya. Namun, ia memergoki Anya membuangnya ke tempat sampah. Meski tak mengerti sebabnya, diam-diam Alex memungut dan menyimpannya. Untuk beberapa waktu boneka itu tersimpan rapi di lemari sampai Irene memindahkannya ke gudang.
“Lex, kok diam aja? Itu kamu bawa keluar!” Seruan Irene membawa Alex kembali ke masa sekarang. Telunjuk Irene menunjuk sebuah kardus di depannya.
Alex meletakkan kembali boneka kelinci di tempatnya. Ia lalu mengambil kardus yang Irene maksud dan meletakkannya di halaman. Baru saja ia mengangkat badannya, Irene menyuruhnya lagi.
“Bawa yang ini juga, Lex! Itu juga!” Irene menunjuk beberapa kardus lagi saat Alex sudah masuk ke ruang tamu.
“Udah, Ren! Biar kita aja yang bereskan,” ujar Lukas menatap Irene. “Dia mau pergi.”
Irene menghentikan kegiatannya dan menatap Alex seolah baru menyadari penampilan Alex yang sudah rapi. “Eh, mau ke mana?” tanyanya heran.
Alex yang memakai kemeja putih dengan jaket dan celana jins, menggaruk kepalanya. Ia ragu jawaban yang ia berikan akan membuat Irene mengizinkannya pergi.
“Udah nggak apa-apa, biarkan dia pergi,” sahut Lukas memahami kegelisahan Alex. “Toh, biasanya dia juga ada di rumah terus.” Lukas menambahkan lagi seraya memberikan anggukan dan kedipan pada Alex.
Irene ingin membuka suara lagi, tetapi Lukas menggeleng. “Dia udah besar, perlu jalan juga sama teman-temannya. Yang ini, kita aja yang selesaikan.”
“Baiklah.” putus Irene akhirnya. “Jangan pulang terlalu sore!” imbuhnya.
Alex tersenyum semringah sambil memandang Lukas yang mengangguk. “Alex pergi dulu, Pa, Ma!” ucapnya lalu melesat keluar. Namun, tiba-tiba ia kembali masuk.
“Boneka ini jangan dibuang, ya!” Alex mengambil boneka kelinci itu dan meletakkannya di atas lemari es. “Daaah! Alex pergi!”
Derum motor yang terdengar dari ruang tamu membuat alis Irene terangkat. “Kau izinkan dia pakai motor?” tanyanya pada Lukas dengan mata membelalak.
Lukas mengibaskan tangannya seperti mengatakan semuanya akan baik-baik saja. “Alex itu udah 19 tahun. Dia udah bisa jaga dirinya sendiri. Berhentilah mengkhawatirkannya.” Lukas berusaha menenangkan Irene.
Mendengar jawaban suaminya, Irene diam dan melanjutkan perkerjaannya. Memang benar apa yang dikatakan Lukas, putranya itu sudah tumbuh dewasa. Bukan saatnya ia mengekang dan terus mengaturnya lagi seperti dulu, hanya karena rasa bersalah belasan tahun yang lalu.
“Ah, kenapa anak ini masih mau menyimpannya sih?” gumam Irene saat melihat boneka kelinci itu. Ia menarik napas panjang lalu kembali menata kardus-kardus di depannya.