“Dulu, waktu masih kecil, di hari Minggu pagi, untuk pertama kalinya gue ketemu Alex. Dia bilang ban sepeda gue kempes dan minta gue ke rumahnya. Jelas gue tolak karena nggak kenal. Dia malah ngajak kenalan, tapi gue tetep nggak mau ke rumahnya. Dia akhirnya pergi, tapi balik lagi sama papanya bawa alat dan mompa ban sepeda gue. Setelah itu gue kabur karena papanya mulai tanya-tanya. Gue takut kalau diculik.” Anya berhenti sejenak.
“Setelah itu kita selalu ketemu di tempat yang sama dan akhirnya main bareng meski beda sekolah. Sama Gavin juga yang waktu itu masih malu-malu. Biarpun Alex suka gangguin dia, tapi sebenernya dia baik kok. Cuma usil aja sih.” Kali ini Anya tertawa.
“Kami bertiga sering main sama-sama, meski Gavin lebih sering nggak ikut karena harus merawat ibunya. Tahu-tahu, waktu kelas 4 SD, gue ke rumah Alex dan lo tahu apa yang gue lihat?” Anya menoleh pada Farrel yang mendengarkan ceritanya dalam diam.
Farrel mengangkat bahu.
Anya melanjutkan ceritanya. “Gue punya sahabat di sekolah. Namanya Audrey, pindahan dari kota lain. Dia cantik banget kayak boneka Barbie. Kecil-kecil udah bibit unggul. Siapa yang bisa nolak temenan sama dia? Termasuk Alex. Audrey di rumah Alex waktu itu. Entah kebetulan atau nggak, orang tua mereka saling kenal. Terutama mamanya, kelihatan akrab banget. Gue tahu mereka sering pergi bareng sekeluarga. Mereka sendiri yang cerita waktu ketemu gue, meski beda tempat dan waktu.”
“Audrey sering ke rumah Alex. Yang bikin gue sedih, dia nggak pernah ke rumah selain untuk ngerjain tugas sekolah. Bisa dihitung pakai jari kita main bertiga. Kadang gue ngerasa jadi yang paling bodoh kalau mereka berdua lagi ngomong. Bahasan mereka cukup tinggi buat gue yang pas-pasan karena mereka sama-sama pintar. Jadi, gue cuma bisa bengong dan ketawa-ketawa aja dengerin cerita mereka.” Anya menarik napas panjang.
“Temenan sampai SMP, cukup bikin gue ngerti bahwa yang dilihat Alex bukan gue. Yang jadi pusat hidupnya adalah dia. Lo nggak lihat binar matanya saat bicara sama Audrey. Alex memuja Audrey. Tiap gue ketemu Alex, dia selalu cerita tentang Audrey. Sampai gue bosan karena udah dengar cerita yang sama di sekolah,” tambah Anya dengan sedikit berdecak.
“Gue lihat hal yang sama saat Alex bicara tentang lo,” sahut Farrel. Anya menatapnya heran.
“Matanya saat cerita tentang lo, udah cukup membuktikan rasa sukanya ke lo. Gue juga bosan dengernya. Apalagi kalau kalian berantem, gue jadi ikut gregetan,” imbuh Farrel. “Yang gue heran, kenapa lo selalu nolak dia, padahal jelas-jelas lo suka juga.”
“Cerita gue belum selesai. Hubungan Alex dan Audrey udah lebih dari itu. Gue bisa tahu dari sikap mereka berdua, dan juga orang tuanya. Kalau yang dewasa udah ikut campur, yang kecil bisa apa? Apalagi gue yang cuma sekadar lewat aja. Gue nggak mungkin bersaing sama Audrey. Terlebih karena dia sahabat gue. Gue menyayanginya. Gue juga sayang Alex. Dia juga yang selalu ada saat gue terpuruk. Mungkin gue serakah, karena nggak mau kehilangan mereka.” Anya melanjutkan ceritanya. Sesekali ia mengusap keringat di dahinya.
“Lalu di mana Audrey sekarang?” tanya Farrel ingin tahu.
“Dia pindah waktu kelas 1 SMP, beberapa hari setelah orang tua gue cerai. Itu pun tahunya waktu gue ke rumah Alex, dan lagi-lagi Audrey ada di situ. Mereka nggak cerita ke gue. Alex bilang karena gue masih sedih jadi nggak mau nambah gue sedih lagi. Tetep aja gue sakit hati, ngerasa mereka udah bohong ke gue. Audrey janji akan terus berhubungan lewat telepon atau chat. Nyatanya hanya hitungan bulan, udah nggak ada kabar.” Nada suara Anya berubah sedih.
“Mungkin dia sibuk di sana,” duga Farrel.
“Gue juga mikir gitu sih. Tapi, dia masih kontakan sama Alex selama setahun sebelum benar-benar nggak ada kabar lagi sampai sekarang. Jadi gue rasa, sebelum itu mereka udah ada janji masing-masing. Dan gue nggak mau merusak janji itu. makanya─”
“Makanya lo rela nggak nunjukin perasaan lo ke Alex?” Farrel memotong ucapan Anya. “Lo rela seumur hidup nggak ngakuin perasaan lo sendiri? Ribet amat sih pikiran lo! Udah jelas Alex sukanya sama lo, bukan Audrey. Dulunya mungkin iya, tapi perasaan manusia bisa berubah. Nggak ada yang tahu isi hati seseorang selain dirinya sendiri.”
Anya diam. Gerbang perumahannya sudah tampak. Tak terasa mereka sudah berjalan bersama sejauh ini sambil bercerita.