Suasana sekolah pagi itu sudah mulai ramai dengan murid-murid yang baru saja datang. Di area drop off, beberapa mobil dan motor sudah mengantre menurunkan siswa. Sebagian lagi langsung menuju tempat parkir di samping gedung utama.
Anya terkejut bertemu dengan Farrel di tempat parkir sepeda. Ia baru saja turun dari sepeda saat melihat Farrel sudah memanggul ransel. Seperti dirinya, Farrel juga baru saja datang ke sekolah.
Melihat Anya sendirian, Farrel bertanya, “Masih belum ngomong sama Alex?”
Anya menggeleng. Setelah memastikan posisi sepedanya sudah benar ia berjalan menuju kelas dengan Farrel di sampingnya.
“Tapi, lo udah nggak apa-apa, ‘kan? Maksud gue, luka-luka lo?” Pandangan Farrel menyusuri tubuh gadis itu.
Gadis itu mengangguk. “Gue salah ya, Rel?” tanyanya kemudian. “Gue nggak mau pergi sama Alex, tapi malah jalan sama Gavin. Kayaknya gue jadi cewek gampangan.”
Kedua alis Farrel bertaut. “Kalau gue jadi Alex, gue marah juga sih,” jawabnya. “Tapi, nggak bisa lakuin apa-apa. Nggak bisa ngelarang juga, karena bukan hak gue.”
“Begitu, ya ….” Anya mendesah pelan.
Keduanya berjalan menuju kelas tanpa berkata apa-apa. Kedatangan Anya dan Farrel dengan kondisi seperti itu membuat mereka jadi pusat perhatian. Beberapa pasang mata yang berada di koridor mulai berbisik-bisik dan saling menunjuk.
Anya merasa tidak enak. Ia terus menundukkan kepalanya, sementara Farrel tak peduli dengan semua itu.
“Wah, wah, wah! Ada apa nih dengan kalian?”
“Kok sama bisa luka-luka gitu?”
“Kalian berantem, ya?”
“Anya kok datangnya sama Farrel sih? Tuh, Alex di belakang dicuekin!”
Anya dan Farrel terkesiap lalu menengok ke belakang. Alex berdiri di sana dengan ekspresi datar. Laki-laki itu menatap Farrel dan Anya bergantian.
Sejak kapan dia ada di sana? Anya panik dan langsung berlari menuju kelasnya. Gadis itu masih bisa mendengar celotehan dan bisik-bisik di belakangnya.
“Gimana ini ceritanya bisa kayak gini?”
“Jangan-jangan lo sama Anya ….” Deva melirik Rudy.
“Berebut Alex?” Rudy melanjutkan kalimat Deva.
“Apaan?!” seru Farrel sambil meninju bahu Deva. Yang ditinju terkekeh sambil mengerling pada Rudy. Temannya itu segera menghindar sebelum Farrel sempat mendekatinya sambil melotot.
“Gue masih normal, woi!” imbuh Farrel. “Dah, sana bubar! Bubar!” Farrel menerobos kerumunan itu untuk masuk ke kelas. Sepasang matanya bersitatap dengan Alex yang masih membisu melihat keramaian tadi.
“Kenapa lo?” tanya Alex mengamati sosok sahabatnya dari ujung rambut hingga kaki. Terlihat beberapa lecet di dagu, memar di pipi, dan balutan perban di lengannya. Alex juga menyadari bingkai kacamata yang berbeda dari yang biasa dipakai Farrel.
Farrel menghela napas dan meletakkan tas di bangkunya. “Kalau lo punya waktu buat merhatiin gue, mending lo samperin Anya,” katanya tidak menjawab pertanyaan Alex.
Melihat Alex masih mematung, Farrel mendorong Alex dengan kakinya. “Udah sana! Kalau lo masih di sini, dikira lo suka sama gue! Udah jangan kelamaan!”
Alex segera berlari ke kelas Anya. Ia langsung memanggil begitu sampai di depan pintu kelas. “Anya!”
Gadis itu melihat Alex menghampirinya dengan buru-buru.