“Ini buat kamu, Nya,” kata Alex. Ia meraih tangan Anya dan memasukkan sebuah bungkusan kecil dalam genggaman gadis itu.
“Aku nggak tahu kamu suka atau nggak. Terserah kamu juga, mau dipakai atau nggak, aku nggak maksa. Aku cuma mau kasih sesuatu aja buat kamu,” lanjut Alex saat Anya hanya melongo menatap pemberiannya. “Anggap aja ini hadiah kecil untuk hari pertama kita jadian.”
Saat ini, Anya kembali memandang benda mungil di atas meja belajarnya. Sebuah jepit rambut biru-putih yang diberikan Alex kemarin. “Bisa-bisanya dia kasih aku ini,” gumamnya.
Anya menatap pantulan dirinya di cermin kecil. Wajah polos dengan rambut sebatas dagu itu balas memandangnya. Mahkota hitamnya terbelah samping tanpa poni. Ia tak pernah lagi menghias kepalanya dengan aksesoris rambut. Semua benda-benda yang identik dengan gadis remaja itu sudah ia buang sejak SMP.
Jemari Anya meraih jepit rambut itu. Dengan canggung ia mematut-matutkannya di kepala. Bergantian ia mencoba di sebelah kanan dan kiri. Ia juga mencoba mengikat sebagian rambutnya ke belakang, tetapi tak ada satu pun yang ia sukai.
“Tahu, ah!” Dengan kesal Anya meletakkan kembali jepit itu di meja lalu keluar meninggalkan kamarnya.
“Lagian Alex ada-ada aja ngasih jepit segala! Udah tahu aku nggak pernah pakai!” Anya membuka pintu rumah dengan wajah cemberut.
Saat ia mengeluarkan sepeda, Alex sudah berada di depan pagar menunggunya. Ini hari pertama mereka berangkat sekolah sebagai pasangan. Berbeda dengan Alex yang tampak biasa-biasa saja dan justru terlihat senang, Anya terlihat canggung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa akan menjadi pacar sahabatnya sendiri. Apalagi dengan cara seperti kemarin.
Meski rasa bahagia menyeruak di dalam dada, ada kecemasan yang mengikutinya. Ia takut kebahagiaan ini tidak akan berlangsung lama. Ia cemas jika sewaktu-waktu orang itu akan kembali. Ia masih ragu, apakah Alex benar-benar serius menyukainya. Jika orang itu datang lagi, apakah Alex masih tetap menginginkannya atau malah meninggalkannya.
Anya masih belum berani menanyakannya pada Alex seperti saran Farrel waktu itu. Ketakutan akan jawaban yang tak ingin ia dengar, memenuhi pikirannya.
“Morning, Dear!” Sapaan Alex membuat hati Anya berdebar di pagi yang cerah ini. Ia hanya mengangguk saja lalu menutup pagar.
Sesuai perkataan Alex kemarin, ia tak mempermasalahkan Anya akan memakai pemberiannya atau tidak. Sekalipun ia telah melihatnya, laki-laki itu tidak membahasnya. Anya bersyukur akan hal itu sehingga ia tidak terlalu merasa bersalah.
Seharusnya Anya sudah terbiasa dengan keberadaan Alex di sisinya. Seharusnya ia juga terbiasa melihat penampilan Alex sehari-hari. Entah mengapa, hari ini laki-laki itu tampak berbeda di matanya. Jika sebelumnya ia tak berani membayangkannya, mulai sekarang ia bisa berharap bahwa Alex akan menjadi miliknya.
“Pagi-pagi udah cemberut aja sih!” goda Alex.
“Gara-gara kamu!” balas Anya sambil menaiki sepeda.
Tak lama, Alex sudah bersepeda di samping Anya. Sesekali Alex menggoda dan melontarkan rayuannya. Anya menanggapinya sambil lalu. Terkadang ada tawa menguar dari mulutnya saat mendengar lelucon Alex.
“Lex,” panggil Anya. Alex melirik sekilas.
“Aku punya permintaan.”
“Apa?”
“Meski kita udah kayak gini, bisa nggak sikapmu nggak berlebihan?”
“Kenapa emangnya?”
“Lebay tahu!” sungut Anya. Bibirnya maju ke depan.
Alex tertawa.
“Malu-maluin aja!” Anya masih menggerutu.
“Ngapain harus malu?”