“Benih cinta itu tumbuh dari tatapan di matamu, subur tersirami kebersamaan dan kedekatan. Begitu indah saat kita saling berbagi senyuman, menghadirkan ketenangan yang tak tergantikan.”
Aku berlari sekencang mungkin, melintasi gerbang sekolah dengan selamat. Begitu sampai, langkahku langsung terhenti. Dalam posisi setengah membungkuk, kedua tanganku bertumpu di lutut. Napasku memburu, dada naik-turun, sementara butiran keringat mulai mengalir dari leher hingga kening.
“Wah, wah! Kamu memang nggak pernah absen jadi langganan terlambat, ya?” ujar Pak Satpam sembari menutup pintu gerbang dengan santai.
Aku hanya terdiam mendengar komentarnya. Bukan hal baru, apa yang dikatakannya memang benar.
Setelah napasku mulai teratur, aku perlahan menegakkan badan. Namun, pandangan ke depan langsung membuatku terkejut. Sepasang mata tajam dengan kerutan di dahi menatap lurus ke arahku. Pemiliknya tak lain adalah Bu Yuni, guru konseling di SMAN 2 Mataram. Tugasnya sederhana tapi membuat siswa sepertiku meringis: menangani siswa-siswi yang melanggar aturan.
Tatapannya memang mengintimidasi, tapi itu tak cukup menyembunyikan satu fakta penting: Bu Yuni adalah guru termuda sekaligus tercantik di sekolah ini. Pesonanya berhasil membuat banyak siswa laki-laki terpesona, termasuk aku.
“Kamu ikut Ibu!” Suara Bu Yuni terdengar tegas, penuh penekanan.
Ah, sudah jelas ke mana ini akan berakhir. Hukumannya pasti tidak jauh-jauh dari ruang konseling.
Benar saja, beberapa menit kemudian, aku berdiri kaku di ruangan itu. Di hadapanku, beberapa guru duduk dengan tatapan serius. Tubuhku sedikit gemetar. Aku tahu, hukuman atas keterlambatanku kali ini sudah menantiku.
“Jadi, alasanmu apa lagi hari ini, Rio?” tanya Bu Yuni dengan nada yang terdengar lelah. Matanya menatap lurus ke arahku, penuh kekecewaan. Tangannya terlipat di dada, sementara tubuhnya bersandar santai di kursi. Sepertinya, ia sudah bosan menghadapi alasan-alasanku yang itu-itu saja.
“Ma-maaf—”
“Maaf tidak akan menyelesaikan masalah, Rio!” potong Bu Yuni tegas, suaranya lugas, tanpa ruang untuk sanggahan. Ia melenguh pelan, seakan pasrah menghadapi kebiasaan burukku yang tak kunjung berubah.
Bibirku langsung kelu. Kata-kata yang tadi ingin kuucapkan lenyap begitu saja. Apa gunanya bicara? Aku tahu, alasan-alasanku—mulai dari “telat bangun” sampai “macet di jalan”—tidak akan mempan lagi di hadapannya. Bu Yuni sudah hafal semua jurus pembelaanku.
“Jadi, bagaimana, Rio? Apa alasanmu hari ini? Kenapa cuma diam saja?” tanyanya sambil menatapku tajam, membuyarkan lamunanku yang tengah mencari-cari alasan baru.
Yah, apa boleh buat. Aku tahu tak ada alasan yang bisa menyelamatkanku kali ini.
“Pahlawan datang ketika musuh sudah membunuh korban. Polisi tiba ketika kecelakaan sudah terjadi. Jadi, menurutku, keterlambatan adalah bentuk keadilan, Bu!” Aku berkata dengan nada sok bijak, berusaha terdengar keren. Senyum lebar terukir di wajahku, seakan bangga dengan kalimat yang baru saja kulontarkan. Padahal, itu kata-kata dari animasi yang pekan lalu kutonton.
Namun, alih-alih kagum, Bu Yuni justru menghela napas panjang. Tatapannya penuh kekecewaan. “Jangan ngomong sembarangan, Rio. Sudah cukup!” katanya sambil menggeleng pelan.
Ia mengambil selembar kertas dari meja dan menyodorkannya padaku. “Ini,” ujarnya, nada suaranya tegas.
Aku mengenali kertas itu dengan baik. Itu adalah daftar absensi siswa yang terlambat—daftar memalukan yang mencatat kesalahan kami. Dan di situ, namaku sudah muncul beberapa kali.
“Lima hari berturut-turut. Sekarang, tulis namamu lagi di sini,” perintah Bu Yuni, suaranya sarat dengan kelelahan dan kesal.
Aku tahu diri. Tak ada gunanya membantah. Aku menerima kertas itu dengan pasrah, lalu berjalan ke meja terdekat. Setelah duduk, aku mulai menulis namaku, jemariku bergerak cepat di atas kertas.
“Bu, ini daftar hadir yang sudah ditandatangani hari ini.”
Suara lembut seorang gadis tiba-tiba mengisi ruangan, membuatku spontan menoleh.
Seketika, waktu terasa berhenti. Mataku bertemu sosok gadis cantik yang berdiri di dekat pintu. Ada sesuatu pada dirinya—tatapan matanya, cara ia membawa diri—yang membuatku terpana. Namun, rasa malu segera mengambil alih, dan aku buru-buru mengalihkan pandanganku kembali ke kertas.
Aku mengenalnya. Atau lebih tepatnya, aku tahu siapa dia. Gadis itu adalah salah satu siswi kelas khusus, terkenal karena kecerdasannya yang luar biasa. Namanya sering disebut-sebut di kelasku, terutama oleh teman-teman laki-laki yang suka bergosip. Mereka selalu membicarakan gadis-gadis populer di sekolah, dan dia adalah salah satu bintang utama cerita mereka.
Namun, ini pertama kalinya aku melihatnya sedekat ini. Dan jujur saja, aku terkesan.
“Apa kamu sudah selesai?!” suara Bu Yuni mendadak membuyarkan khayalanku tentang gadis populer tadi.
Refleks, aku menoleh ke arahnya. “Sudah selesai, Bu,” jawabku sambil menyodorkan kertas absensi siswa terlambat yang baru saja kutulisi dengan namaku.
“Baik. Karena kamu terlambat lagi hari ini, Ibu akan memberi kamu hukuman. Berlari di lapangan basket sebanyak 30 kali putaran,” ucapnya tanpa basa-basi.
Tiga puluh kali?! Gila!
“Rio, apa kamu mengerti?” lanjut Bu Yuni, tatapannya seperti biasa, tajam dan mengintimidasi.
“Mengerti, Bu!” jawabku dengan nada pasrah.
Aku pun melangkah gontai menuju lapangan basket, dengan sebuah kertas besar yang tergantung di leherku bertuliskan, “Aku terlambat hari ini. Aku pantas mendapatkan hukuman ini!”
Putaran pertama hingga kesepuluh terasa seperti neraka. Keringat mengucur deras dari seluruh tubuhku, membasahi seragam sampai lengket. Napasku tersengal-sengal, dadaku terasa seperti dihantam palu. Tapi aku terus berlari. Bagaimana tidak? Bu Yuni mengawasiku dari ruang konseling dengan tatapan elangnya.
Setelah putaran ke-15, mataku tanpa sengaja melirik ke ruang konseling. Kosong. Bu Yuni tidak terlihat. Mungkin bosan menunggu atau ada urusan lain. Kesempatan ini langsung kugunakan untuk beristirahat sejenak.
Aku menjongkok, tangan bertumpu di lutut, napas masih memburu. Pandanganku tertuju ke lantai dua gedung sekolah, tempat kelas khusus berada. Dan di sanalah, sosok itu terlihat lagi.
Dia.
Gadis yang tadi kulihat di ruang konseling sedang berdiri di balkon kelasnya. Pandangannya terarah padaku. Jantungku berdegup lebih kencang, bukan karena lari, melainkan karena sesuatu yang tak bisa kujelaskan.
Dia memperhatikanku? Atau cuma perasaanku saja? batinku bertanya-tanya.
Namun, ketika tatapan kami bertemu, gadis itu dengan cepat berbalik badan dan masuk ke kelasnya, meninggalkan aku dalam kebingungan dan sedikit malu.
Ketika pikiranku mulai melayang-layang dalam fantasi, sebuah tepukan di bahu membuatku terkejut.
“Apa kamu sudah selesai, Rio?” suara tegas Bu Yuni mengembalikanku ke dunia nyata.
“I-iya, Bu,” jawabku terbata-bata, sambil buru-buru berdiri tegak.