“Keindahan itu tercipta di kedua mata, kemudian jadi puing-puing kenangan yang terabadikan.”
Aku melangkah perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada senyum yang terpahat di wajahku. Saat melewati koridor kelas yang masih lengang, tiba-tiba kudengar seseorang memanggil namaku. Suara itu membuatku menoleh, mencari asalnya. Tak butuh waktu lama, aku menemukannya—Bu Yuni, berdiri di depan ruang konseling yang terletak di sisi barat.
“Ada apa, Bu?” tanyaku setelah sampai di hadapannya.
“Tumben kamu datang sepagi ini,” ucapnya, nada heran bercampur kagum terlihat jelas dari raut wajahnya. Ia menatapku dengan saksama, seakan mencoba memastikan bahwa senyum yang terpampang di wajahku benar-benar nyata.
“Memangnya salah kalau datang sepagi ini, Bu?” balasku, mencoba bercanda.
“Tidak, tentu saja tidak. Malah bagus, kok,” jawabnya sambil tersenyum ramah. Kemudian, dengan nada lembut, ia menambahkan, “Oh iya, ibu bisa minta tolong sesuatu?”
“Tentu. Minta tolong apa?” jawabku, sedikit penasaran.
“Tolong antarkan daftar hadir ini ke kelas khusus, ya. Bisa?” Ia menyodorkan secarik kertas absensi yang tampak rapi.
Mendengar kata kelas khusus, semangatku seketika melonjak. Aku segera mengangguk, merasa tugas ini adalah peluang emas—kesempatan bertemu dengan Kalisa. Senyumku semakin lebar, sementara hatiku berdebar-debar tak sabar.
Ketika sampai di depan ruang kelas khusus, aku berdiri sejenak, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Saat pandanganku menyapu ruangan, aku melihat Kalisa. Ia tampaknya menyadari kehadiranku karena segera melangkah keluar dan menghampiri.
“Rio?! Ada apa?” tanyanya dengan nada ramah begitu kami saling berhadapan.
“Ini ... daftar hadirnya. Bu Yuni nyuruh aku nganterin ini,” jawabku dengan sedikit gugup, mencoba mengendalikan suaraku yang terdengar bergetar.
“Oh. Terima kasih ya, Rio,” balasnya dengan senyum manis yang membuat kedua pipinya berlesung. Jantungku berdegup kencang, dan wajahku terasa hangat.
Saat ia meraih kertas dari tanganku, tanpa sengaja tangan kami bersentuhan. Aku langsung menoleh ke arah Kalisa, dan kulihat wajahnya ikut memerah. Ia buru-buru menunduk, mencoba menyembunyikan rasa malunya.
“Kalau begitu, aku masuk kelas dulu, ya.” Aku berkata pelan, memecah keheningan yang mendadak terasa canggung.
Sebenarnya aku ingin tetap di sana, berbincang lebih lama dengannya. Tapi suasana yang terlalu kikuk membuatku tahu diri. Dengan langkah pelan, aku pun berbalik meninggalkan ruang kelas, sementara bayangan Kalisa dan senyumnya yang memikat terus membayangi pikiranku.