Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #5

BAGIAN III (2)

Kalisa, gadis manis yang selalu hadir dalam pikiranku, hingga kini belum juga memberi kabar. Rasa khawatirku semakin besar, seakan-akan bayangannya terus mengikutiku. Akhirnya, aku memutuskan bahwa sepulang sekolah nanti, aku akan mencari rumah Kalisa. Tanpa sadar, perasaanku terhadapnya ternyata lebih dalam daripada sekadar persahabatan. Sebelumnya, aku merasa bahagia ketika Kalisa bersedia menjadi temanku, tetapi entah kenapa, rasa ini semakin lama terasa bukan lagi sekadar perasaan seorang teman biasa.

Begitu bel sekolah berbunyi tanda pelajaran berakhir, aku segera melesat, mengendarai sepeda merah yang kini sudah sehat kembali. Perjalananku kali ini terasa berbeda, seolah ada beban di dada yang semakin berat. Aku berhenti sejenak di persimpangan jalan. Jalan yang sudah menjadi saksi kenanganku bersama Kalisa. Dulu, jalan ini seolah memisahkan kami karena tempat tinggal yang berbeda, tapi hari ini, aku yakin jalan ini akan membawaku padanya.

Kulirik sebuah gang kecil di depanku, tempat Kalisa pernah melangkah. Perasaan keyakinan mengalir begitu kuat dalam diriku. Aku bisa menemukannya, pikirku. Dengan langkah mantap, aku masuk ke dalam gang itu, hanya untuk menemukan berbagai cabang jalan yang berkelok. Namun, tanpa ragu, aku memilih terus berjalan lurus, mengikuti instingku yang mengatakan ini adalah jalanku menuju Kalisa.

Beberapa saat kemudian, aku sampai di jalan yang lebih ramai. Orang-orang berlalu-lalang dengan aktivitas masing-masing. Rumah-rumah di sepanjang jalan tertata rapi, menyambutku dengan suasana yang tampak begitu tenang. Di sisi lain, bangunan pertokoan dan kios-kios kecil mulai memenuhi jalan, menambah kesibukan yang menyelimuti.

Aku terus berjalan, menelusuri setiap sudut, hingga akhirnya mataku tertuju pada rumah besar yang megah. Pagar hitamnya tinggi, dan di depan gerbang, sebuah bel kecil menempel. Aku berdiri tegak, menatap rumah itu dengan napas tertahan. Tangan kiriku meraih tombol bel, tapi sebelum aku sempat menekannya, aku melihat sesosok gadis dari celah gerbang.

Walau hanya sekilas dan samar, aku yakin itu Kalisa. Tanpa berpikir panjang, aku memanggilnya dengan suara penuh harapan, “Kalisa!!!”

Namun, Kalisa tak menoleh. Mungkin ia tak mendengar, atau mungkin saja ia ragu. Aku tak menyerah, memanggil namanya lagi dengan suara lebih keras, “Kalisa!!!”

Akhirnya, Kalisa menoleh. Pandangannya mencari-cari sumber suara, dan ketika dia melangkah lebih dekat, wajahnya pun terlihat jelas. Tak diragukan lagi, itu memang Kalisa. Hatiku berdebar, tak sabar bertemu dengannya.

“Aku di sini!” teriakku dengan suara penuh kegembiraan.

Akhirnya, Kalisa, gadis super cerdas yang selalu menarik perhatianku, menoleh ke arahku dari sela-sela gerbang. Aku tak yakin apakah dia akan merespons, tapi aku tetap menunggu dengan sabar. Suasana terasa semakin tegang, tapi aku tetap teguh berdiri, menunggu reaksinya.

Tak lama setelah itu, terdengar derap langkah yang semakin mendekat, dan suara gembok serta gerbang yang beradu memberi tahu bahwa Kalisa sedang membuka gerbang rumah megahnya untukku. Jantungku berdegup kencang, menunggu momen itu.

Saat gerbang terbuka penuh, Kalisa terkesiap melihat sosokku. “Rio?! Ka-kamu tahu rumah aku dari mana?” Kalisa bertanya dengan suara terbata, wajahnya memerah malu. Matanya sesekali menangkis pandanganku, seolah tak bisa sepenuhnya menerima kenyataan bahwa aku ada di sini.

“Ceritanya panjang. Boleh aku masuk?” jawabku dengan senyum kecil. Tapi, meskipun aku menanyakan izin masuk, dalam hatiku, aku sudah tahu momen ini akan menjadi langkah besar dalam memahami Kalisa.

Lihat selengkapnya