Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #6

BAGIAN IV (1)

“Debaran rindu kian menggema, saat mataku tak mampu menjangkau indahnya kasihmu. Namun, biarkan dunia dalam khayalku merasakan hangat kulit terangmu, hingga kegundahan perlahan sirna.”

 

 

Pukul 6.30 pagi pada hari Senin, awan hitam mulai bergerak cepat, diembuskan angin yang semakin kencang. Tak lama kemudian, hujan turun, setitik demi setitik, kemudian bertambah deras, mengguyur seluruh jagat raya. Aku segera mencari tempat berteduh, berusaha melindungi diri dari derasnya hujan.

Aku berlindung di kawasan pertokoan yang biasa aku lewati saat berangkat ke sekolah. Hari ini, meskipun sedang hujan lebat, ujian semester dua tetap berlangsung di sekolah.

“Rio!”

Aku segera menoleh, mencari sumber suara. Tepat di sebelah kanan, ada seorang gadis berambut sebahu—Clara. Senyumnya mengembang, menunjukkan kegembiraan yang kontras dengan suasana hujan yang begitu deras. “Eh, Clara?! Kamu kehujanan juga?” ujarku spontan, sedikit terkejut karena baru menyadari bahwa gadis berpipi bulat ini berada di sampingku.

“Iya. Aku dari tadi di sini sebelum kamu datang. Gimana, sih, kamu nggak ngelihat aku di sini?!” Clara memajukan bibirnya, tampak kesal.

“Maaf, maaf. Udah siap ujian hari ini?” tanyaku, mencoba mengganti topik.

“Aku sih nggak terlalu khawatir sama nilaiku. Yang pasti, aku selalu dapat nilai cukup, kok,” jawab Clara dengan santai.

“Oh, baguslah kalau gitu,” balasku.

Sambil melirik sekeliling, mataku menangkap sosok yang aku kenal di sudut pertokoan. Tentu saja itu bukan Clara. Di sana, berdiri Kalisa, gadis yang begitu memesona, bagai berlian di tengah hujan. Ia tampak terpesona, menatap bulir-bulir hujan yang turun dari langit. Seragam dan rambutnya yang bergelombang tampak basah.

“Kalisa!” Aku memekik, melawan gemuruh suara hujan yang terus menerus mengguyur. Suaraku berhasil menjangkau telinga Kalisa, dan ia menoleh, tampaknya menggigil menahan dinginnya hujan.

“Kamu kenal dia?!” Clara tampak terkejut, mungkin tak percaya aku mengenal gadis secantik Kalisa.

“Iya. Memang kenapa? Kayak nggak percaya gitu aku kenal sama cewek?” tanyaku, sedikit heran, sambil memiringkan senyum.

“Nggak apa-apa, sih. Cuma ... ya ... aku kira kamu nggak punya kenalan cewek selain aku. Hihihi.” Clara terkikik, memecah kebisuan di antara kami.

“Malah aku lebih dulu kenal dia daripada kamu,” jawabku dengan nada bercanda.

Kalisa tampaknya enggan datang menghampiriku. Mungkin ia malu melihatku bersama Clara, atau mungkin merasa tak nyaman. Karena itu, aku memutuskan menghampirinya.

“Sejak kapan kamu di sini?” tanyaku, setelah akhirnya sampai di samping gadis manis itu.

“Sebelum kamu datang, aku udah di sini.” Kalisa menjawab dengan suara lembut, tubuhnya sesekali bergetar karena dingin, tapi ia berusaha menahan rasa tak nyaman itu. Aku bisa merasakan sedikit kecanggungan, mungkin karena malu aku melihatnya dalam keadaan seperti ini.

“Oh, gitu.” Aku melepaskan sweater abu-abu yang kukenakan. “Nih! Pakai, deh! Kamu lebih butuh soalnya. Jangan sampai demam! Ujian semester ‘kan, baru aja dimulai!” Aku berkata sambil tersenyum ramah, sambil menyodorkan sweater-ku padanya.

Aku merasa seperti ini bukan kebetulan belaka, melainkan takdir. Hari ini, aku yang biasanya tidak mengenakan sweater, justru memutuskan memakainya. Mungkin ini memang sudah ditentukan, agar aku bisa membantu Kalisa.

“Te-terima kasih,” jawab Kalisa dengan suara pelan. Ia mengenakan sweater abu-abu itu dengan cepat. Wajahnya memerah, tapi ia tampak terlalu malu untuk menolak bantuan yang kuberikan.

Tiga puluh menit berlalu, dan akhirnya hujan pun reda. Karena sekolah cukup dekat dari kawasan pertokoan ini, aku memutuskan melanjutkan perjalanan. Namun, karena merasa tidak enak meninggalkan Kalisa sendirian, aku memutuskan menemaninya berjalan kaki. Aku menuntun sepeda dan berjalan di sampingnya, langkah kami beriringan.

Kayaknya ada yang kelupaan, nih!

Tiba-tiba, aku teringat Clara, gadis yang tadi sempat kulupakan karena terlalu fokus pada Kalisa. Aku segera menoleh ke belakang.

Clara tampak tertunduk, menatap langkah kakinya dengan ekspresi wajah yang memancarkan aura kekesalan. Tentu saja, ia kesal padaku karena sudah terlalu asyik berbicara dengan Kalisa dan melupakan keberadaannya.

“Clara! Sini!” Aku memanggilnya sambil mengibaskan tangan, memintanya mendekat.

Clara pun mempercepat langkahnya, menghampiriku dengan ekspresi masih menunjukkan sedikit kekesalan.

“Kalisa, kenalin! Ini Clara, teman sekelasku. Clara, ini Kalisa, temanku.” Aku memperkenalkan mereka.

“Oh. Aku Kalisa, temannya Rio,” jawab Kalisa dengan suara lugas, kemudian mereka berjabat tangan dengan sopan.

“Kamu cantik juga, ya. Aku masih heran, gimana ceritanya kamu kenal sama makhluk kayak Rio?” Clara menggoda, lalu terkekeh. Aku tahu betul, ini memang sifat asli Clara. Gadis yang ceria, blak-blakan, mudah bergaul dan beradaptasi dengan orang baru. Sedangkan Kalisa, sebaliknya. Gadis yang pendiam, tidak banyak bicara, sopan, dan lebih sulit terbuka pada orang lain, sama sepertiku. Kalisa tampak lebih anggun bagiku, meskipun Clara memiliki pesonanya tersendiri.

Setelah beberapa menit berjalan, kami akhirnya sampai di sekolah. Kami langsung menuju kelas masing-masing dan ujian semester kedua pun dimulai.

 

-II-

 

Lihat selengkapnya