Tepat jam 7 malam, hujan kembali turun deras, mengguyur bumi dengan irama yang menenangkan, tapi juga mengingatkan pada rasa hampa yang menggelayuti hatiku. Aku mengurung diri di dalam kamar, memandangi guyuran hujan dari celah-celah jendela, seakan-akan langit sedang menangis bersamaku.
Musim hujan sudah tiba ....
Aku meraih selimut tebal di ranjang, menariknya hingga menutupi tubuhku yang mulai merasa dingin. Namun, tubuhku yang terbungkus hangat tak mampu menahan dingin yang merasuk ke dalam pikiranku. Kalisa, gadis anggun dengan senyuman yang selalu terpatri dalam ingatanku, kembali muncul dalam bayanganku. Keberadaannya seakan menuntut perhatian, tapi kenyataan yang menyelimuti justru menambah ketidakpastian dalam hatiku.
Dalam diam, aku terus memohon kepada Tuhan, berdoa agar Kalisa diberikan perlindungan. Aku sadar, mungkin perpisahan dengan Kalisa suatu saat nanti bukanlah hal yang mustahil. Tapi yang terus mengganggu pikiranku adalah pertanyaan sederhana penuh kepedihan: apakah Kalisa akan merasa bahagia jika ia menjalani kehidupan yang bertentangan dengan keinginannya sendiri? Hatiku tidak bisa membayangkan, ia akan tersenyum bahagia, padahal senyum itu mungkin hanya sekadar topeng untuk menyembunyikan luka di dalam hatinya.
Sungguh malang. Di saat-saat seperti ini, saat hatiku terasa begitu kosong, aku tak dapat melakukan apa pun untuknya—untuk gadis yang benar-benar membutuhkan dukungan, tapi aku tak bisa memberikan lebih dari sekadar doa dan harapan.
-II-
“Eh, Rio! Pagi!” Clara menyapa ceria, senyum hangatnya menyinari pagi yang biasanya terasa kelabu.
“Pagi, Clara!” jawabku pelan, tak bersemangat.
“Kamu nggak pernah semangat menjalani hidup ini! Coba sekali-kali semangat, dong!” Clara mengacungkan kepalan tangannya dengan ekspresi penuh semangat.
“Mau diapain lagi? Ini bukan karena aku kurang semangat. Tapi, ya memang begini sifat aku dari lahir,” jawabku, sedikit kesal tapi tidak terlalu serius.
“Yuk, barengan!” ajaknya, semangat.
“Kamu duluan aja! Aku ada urusan sebentar.”
“Urusan? Pagi-pagi begini? Oh, aku tahu! Kamu pasti mau bolos sekolah, ya?!” Clara tersenyum menggoda, seolah sudah tahu apa yang ada dalam pikiranku.
“Kok, tahu, sih?”
“Ya, tahulah! Emang mau ke mana lagi pagi-pagi? Emang kamu ada urusan apa? Siapa tahu aja aku bisa bantu, ‘kan? Aku ikutlah. Soalnya nggak ada kerjaan juga di sekolah,” jawabnya penuh percaya diri.
“Yakin mau ikut? Emang nggak takut bolos?” tanyaku sedikit khawatir.
“Iya, aku mau ikut. Takut? Apa yang mesti ditakutin? Aku juga sering bolos kalau lagi pengin belanja-belanja pagi-pagi ke mal,” jawabnya dengan santai, seakan bolos adalah hal biasa.
“Ya, udah. Sebenarnya, aku mau ke rumah Kalisa. Niatnya, sih, cuma mau mastiin.”
Mendengar namanya, ekspresi Clara langsung berubah. Ia terdiam dan menundukkan kepala. "Oh, gitu. Ya, udah kalau gitu," jawab Clara pelan, suaranya seolah kehilangan semangat.
“Ya, udah, apa? Ikut atau nggak?” tanyaku lagi, berusaha mengangkat suasana.
“Iya, aku ikut. Ayo!” Clara tiba-tiba kembali ceria dan langsung memegangi boncengan sepedaku.
“Terus, kenapa pegang-pegang sepedaku?” tanyaku kebingungan.
“Mau naiklah! Kan, sepeda kamu ada boncengannya, tuh!” jawab Clara dengan wajah penuh keyakinan.
Aku cukup terkejut. Memang benar, aku sudah memasang boncengan di sepeda merahku. Sebenarnya, aku berharap gadis pertama yang kubonceng adalah Kalisa, bukan Clara. Tapi, apa daya, keadaan berbalik.
“Kok diem lagi?! Nggak boleh?” tanya Clara dengan ekspresi cemberut.
Pertanyaan itu membuatku terperangah. Tak ada yang bisa kukatakan. Jika aku bilang ‘nggak boleh’, aku tahu dia akan menganggapku pelit.
“Iya. Boleh, kok, boleh.” jawabku pasrah, sambil melenguh kesal.
Perjalanan pun dimulai. Tiba-tiba, aku merasakan sepasang tangan melingkari pinggangku. Tak salah lagi, itu tangan Clara yang kini duduk di boncengan sepedaku. Sedikit gugup memang. Faktanya, aku tak pernah melakukan hal seromantis ini. Jika kami sepasang kekasih, tentu saja kami akan jadi pasangan yang membuat setiap orang iri. Namun kenyataannya, kami bukan sepasang kekasih. Kami hanya dua teman yang terjebak dalam kebingungannya masing-masing.
“Siapa yang suruh pegangan sama aku?” tanyaku dengan nada sinis sambil tetap fokus mengendalikan sepeda merah.
“Pelit amat, ah! Kalau nggak pegangan, aku bisa jatuh! Apa kamu mau lihat aku jatuh, terus diketawain orang-orang?!” Clara bersungut kesal, dan aku bisa merasakan ketegangan dalam suaranya.
“Kemarin ‘kan, percobaan bunuh diri kamu gagal, tuh. Nah, sekarang siapa tahu kamu bisa berhasil,” godaku, lalu cekikikan.
“....” Clara terdiam, tak merespons.
“Kok diam? Maaf aku nggak ber—”
“Kena, deh! Hahaha. Kamu pasti takut kalau aku marah, ‘kan?!” Clara memotong, membuatku terkejut.
“Apa? Nggaklah! Aku juga cuma becanda, kok, minta maaf sama kamu,” jawabku cepat, sedikit kesal.
“Ya, udah. Jadi, berapa lama lagi kita sampai di rumah si Kalisa?” Clara mengalihkan topik, mencoba membuat suasana lebih ringan.