“Melangkah untuk mencapai tujuan. Menapaki jalan untuk menemukan sebuah arti di dalam hidup. Aku yakin, pilihan terbaik berasal dari hati terdalam manusia itu sendiri.”
"Rio!” Clara memanggil dengan ceria, menghampiriku yang sedang bersandar di tiang listrik dekat perumahanku. "Maaf, ya, lama sedikit."
"Oke. Nggak apa-apa," jawabku dengan senyum ramah, mencoba menunjukkan bahwa aku baik-baik saja meskipun hatiku masih terasa agak kosong.
"Jadi, kita mau ke mana hari ini?" tanya Clara, matanya berbinar penuh semangat.
"Gimana kalau kita ke Timezone? Kita nikmati hari. Santai, senang-senang," usulku, berusaha mengalihkan pikiranku dari segala yang mengganggu.
"Boleh juga ide kamu!" Clara mengangguk antusias. "Yuk, cepetan!" Ia tampak begitu bersemangat, seperti selalu.
Akhir-akhir ini, aku memang lebih sering menghabiskan waktu bersama Clara. Kami semakin dekat, dan aku merasa nyaman dengan kehadirannya. Clara tampaknya juga sangat menikmati kebersamaan ini. Ada semacam kebahagiaan yang membalut hari-hariku, mengusir kesedihan yang sempat menguasai setelah pesan perpisahan Kalisa.
Sejak Kalisa mengirimkan pesan itu, aku berusaha bangkit. Tak ingin tenggelam dalam kesedihan yang tak ada habisnya. Aku sadar, meskipun Kalisa bukan lagi bagian dari hidupku, Clara tetap ada di sini, mendampingiku dengan cara yang berbeda. Aku juga tahu bahwa Clara menyukaiku. Kalisa pernah menuliskan itu dalam pesan terakhirnya, tapi anehnya, aku tak pernah sekalipun membahas Kalisa di depan Clara.
Dengan taksi yang membawa kami menuju Epicentrum, kami tiba di pusat perbelanjaan besar di kota Mataram itu. Epicentrum, tempat yang selalu ramai dengan berbagai toko, mulai dari pakaian hingga elektronik, cafe, dan restoran. Dan tujuanku hari ini menuju Timezone, pusat permainan yang terletak di lantai tiga.
"Mau main apa dulu?" Clara bertanya dengan semangat membara. "Kasih aku tantangan."
"Main basket bisa nggak? Siapa yang paling banyak masukin bola, dia yang menang!" jawabku, menunjuk mesin permainan basket yang berada di dekat dinding di sisi barat.
"Oke, siap! Siapa takut!" Clara berkata dengan percaya diri, kemudian langsung beranjak menuju mesin permainan basket. Aku mengikutinya dengan langkah santai.
Permainan pun dimulai. Clara langsung tancap gas, memasukkan bola dengan cepat, hingga akhirnya mencetak 10 gol dalam waktu singkat. Sementara aku, meskipun berusaha sebaik mungkin, hanya berhasil memasukkan 5 bola. Yah, aku memang bukan atlet, dan itu terbukti jelas di sini. Namun, aku tak merasa kalah. Ada kebahagiaan kecil yang kurasakan, kebahagiaan yang datang dari kebersamaan dengan Clara.
Ketika permainan akhirnya berakhir, Clara melompat kegirangan, berteriak seakan dunia ini miliknya, hingga menarik perhatian pengunjung lain yang sedang asyik bermain di Timezone. Beberapa orang menoleh, menatap kami dengan pandangan penasaran. Clara, yang mulai menyadari perhatian yang tertuju padanya, tampak sedikit canggung.
“Kenapa, sih, orang-orang itu?” Clara mengerutkan kening, kesal melihat pandangan yang tak mengenakkan itu.
“Kamu yang kenapa, Ra? Nggak heran sih kalau orang-orang pada kaget lihat kamu begitu. Kalau kamu udah mulai teriak, semua orang pasti jadi heran,” jawabku dengan sedikit senyum, mencoba membuatnya lebih santai.
“Ih, padahal suara aku seksi.” Clara berkata sambil tersenyum nakal, membuatku terdiam sejenak.
Tunggu, kata 'seksi'? Itu berhasil membuat pikiranku melayang sejenak. Aku teringat kata-kata itu berulang kali, seolah ada sesuatu yang tersirat dari ucapan Clara yang tidak bisa kuungkapkan. Tapi sebelum aku tenggelam lebih dalam dalam pemikiran itu, Clara sudah menarik lenganku dan menyeretku menuju mesin permainan lainnya.
"Yuk! Ini baru permainan gereget! Berani nggak lawan aku?" Clara tampak semakin bersemangat, seolah tak bisa berhenti.
“Oke, siap! Siapa takut! Dulu, sewaktu kecil, aku paling jago main ini! Dan aku nggak pernah kalah, loh!” jawabku, berusaha tak mau kalah dalam permainan apa pun.
Clara menatapku dengan ekspresi menggoda, “Jadi, dulu kamu punya banyak teman, ya? Main ini sama teman-teman kamu?”
Aku tertawa kecil. “Pake nyindir lagi, Ra. Aku mainnya sama player otomatis.”
“Ya, ya, ya. Ayo mulai, nih!” Clara tak sabar, matanya berbinar penuh semangat.
Permainan dimulai dengan cepat. Mesin balap itu menampilkan salip menyalip yang begitu sengit. Kami berdua begitu fokus, hingga waktu berlalu begitu cepat tanpa terasa. Lupa bahwa sudah saatnya makan siang, hingga akhirnya perutku mengeluarkan suara keras yang memaksa kami berhenti.
“Rio! Kok berhenti?” Clara protes, tampak kesal.