Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #9

BAGIAN V (2)

Seminggu sudah berlalu sejak pertemuan terakhirku dengan Clara. Seminggu tanpa kehadiran gadis manis bermata sipit itu, aku menjalani hari-hariku seperti biasa. Bermain game, membaca komik, menonton film, dan berbagai aktivitas lainnya yang tampak monoton, tapi tetap mengisi kekosongan waktu.

Saat itu, aku duduk santai di ruang tamu bersama adikku, Lina. Kami berdua tenggelam dalam dunia masing-masing. Aku sedang menonton TV, sementara Lina sibuk dengan layar smartphone-nya, sesekali tertawa kecil tanpa bicara sepatah kata pun kepadaku. Sudah menjadi kebiasaannya, si gadis remaja ini tak bisa jauh dari ponsel dan dunia maya. Tentu saja, ia sedang "update" kehidupan sosialnya lewat foto-foto selfie.

“Lina, lagi apa, sih? Dari tadi serius amat?” tanyaku, mencoba mengalihkan perhatiannya.

Lina tak sekalipun menoleh. Dengan santainya, ia menjawab, “Lina lagi upload foto-foto selfie, Kak!”

“Selfie? Hah, kenapa nggak nyuruh si Selfie itu aja yang upload foto-fotonya sendiri?” godaku, sekadar melontarkan candaan.

Tiba-tiba, Lina menoleh dengan ekspresi serius yang hampir membuatku tersedak. “Kak,” ucapnya lembut.

Aku terdiam sejenak, lalu menimpali, “Kenapa?”

“Lebih baik Kakak buat kopi aja sana! Daripada bengong nggak jelas gitu. Kakak ganggu aja deh. Jangan lupa! Buatin Lina juga!” Lina menuturkan dengan nada tegas, menyerupai perintah seorang jenderal.

Itulah Lina. Adikku yang meskipun baru berusia 14 tahun, bisa lebih kejam dari Mak Lampir. Tanpa ragu, ia memerintah kakaknya sendiri melaksanakan tugas-tugas rumah tangga. Aku pun tak bisa menolak, jadi beranjaklah aku ke dapur untuk menyiapkan dua cangkir kopi hangat—satu untukku, satu lagi untuk Lina.

Sambil menunggu air mendidih, pikiranku kembali melayang. Aku teringat kembali pada apa yang pernah diucapkan Clara padaku. Sebelumnya, aku tak pernah memikirkan hal-hal besar tentang hidupku, apalagi hidup orang lain. Namun, semuanya berubah setelah aku mengenal Kalisa dan Clara. Mereka berdua mengajarkanku pelajaran hidup yang sangat berarti. Kalisa mengajarkanku tentang arti kehilangan yang tak terelakkan. Sementara itu, Clara mengajarkanku arti sebuah pilihan, betapa beratnya menentukan arah hidup, terutama saat segala sesuatu terasa terpuruk dan hancur.

Meski memiliki orang tua, mereka seakan tidak pernah pulang. Rasanya, aku seperti hidup tanpa mereka. Aku tahu mereka selalu bekerja keras mencukupi kebutuhan hidupku dan Lina, tetapi itu tak pernah bisa mengisi kekosongan yang kurasakan. Tak ada kehadiran mereka, tak ada kasih sayang langsung yang terasa. Hanya kesibukan yang tak pernah berakhir.

Kopi yang kubuat pun sudah siap, dan aku segera kembali ke ruang tamu.

“Nih!” ucapku sambil meletakkan secangkir kopi di hadapannya dan secangkir untukku sendiri.

“Makasih, Kak,” jawab Lina, masih sibuk dengan layar smartphone ber-casing merah muda yang tidak pernah lepas dari tangannya.

“Minum dulu! Nanti keburu dingin ‘kan, nggak enak,” saranku, lalu aku menyeruput kopi yang hangat, aromanya memenuhi hidungku.

Lihat selengkapnya