Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #10

BAGIAN V (3)

Hari ini adalah Senin, hari pertama bersekolah setelah libur panjang kenaikan kelas. Semua aktivitas sekolah dan kegiatan lainnya akhirnya dimulai lagi. Meski rasa malas masih membelenggu, aku tahu ada impian yang harus kucapai, dan itu yang memotivasiku untuk tetap bersemangat menghadapi hari pertama ini.

Aku mengayuh sepeda merahku, seperti biasa, melintasi deretan rumah yang tertata rapi di sepanjang jalan perumahan. Sesampainya di pertigaan, aku teringat wajah sendu Clara—gadis bermata sipit yang seminggu lalu mengungkapkan perasaannya padaku. Hari ini, aku akan bertemu lagi dengannya. Ada sedikit kebahagiaan yang menyelip di hatiku. Aku mulai merasa betapa sepinya hari-hariku tanpa kehadiran Clara, gadis bertubuh langsing itu.

Setelah memarkirkan sepeda di parkiran sekolah, aku berjalan santai menuju kelas. Sekolah masih terasa sepi karena aku datang lebih pagi dari biasanya. Suasana di dalamnya masih sunyi, hanya beberapa siswa yang sudah datang di waktu yang lebih awal ini.

Saat memasuki kelas, aku terkejut melihat Clara sudah duduk santai di tempatnya. Aku berusaha bersikap sok cuek, seperti biasanya, dan segera duduk di kursiku. Dalam hati, sebenarnya aku berharap Clara akan menyapaku terlebih dahulu—menanyakan kabarku atau sekadar mengucapkan selamat pagi. Namun, ketika aku meliriknya, dia tampak fokus pada layar smartphone miliknya, sama sekali tidak menyadari kehadiranku.

Mungkin dia tidak melihatku. Atau mungkin juga karena aku lelaki, aku yang harus menyapa duluan. Tapi sebelum aku sempat membuka mulut, teman-teman satu gengnya datang dan langsung menyapanya, menghalangiku berbicara. Kekesalan mulai merayap ke ubun-ubun. Aku pun memutuskan tidak lagi menyapanya. Dengan malas, aku mengambil posisi yang nyaman, meletakkan kepala di atas meja, lalu memejamkan mata, berusaha untuk menenangkan diri.

 

-II-

 

Hari itu, kekesalanku masih tak berkurang, bahkan setelah jam sekolah berakhir. Tidak hanya karena kejadian pagi tadi, tetapi juga saat jam istirahat. Clara, gadis berkulit putih yang biasanya ceria, malah sibuk dengan gadget-nya, tidak sedikit pun menyapaku. Sikapnya yang sangat berbeda dari biasanya membuatku merasa ada sesuatu yang aneh. Ini adalah pertama kalinya Clara bertingkah seperti gadis-gadis kekinian, yang lebih banyak memperhatikan alat-alat kekinian daripada berbicara dengan orang di sekitarnya. Itu sangat tidak anggun, menurutku.

Merasa ada yang tidak beres, aku untuk mencari tahu lebih lanjut. Setelah sekolah, aku melintasi taman Udayana di Kota Mataram dan mendapati Clara sedang duduk sendiri di bangku taman di bawah pohon besar. Wajahnya tampak gelisah, dan aku bisa merasakan dia sedang menunggu seseorang.

Pikiranku mulai melayang. "Kayaknya dia lagi nunggu pacar barunya, nih!" Begitu banyak asumsi yang bermunculan di kepalaku. Namun, aku tahu sebelum aku mendapatkan bukti yang jelas, aku tak bisa langsung menarik kesimpulan mengenai perubahan sikap Clara yang selama ini ceria.

Dengan hati-hati, aku bersembunyi di balik pohon besar dan mengamati Clara. Dari gerak-geriknya, jelas dia sedang cemas menunggu seseorang. Sesekali, dia melirik jalanan yang ramai di luar taman, seolah berharap seseorang akan segera muncul.

Akhirnya, setelah beberapa menit yang terasa lama, sosok yang Clara tunggu-tunggu datang. Seorang pria tampan, terlihat dewasa, dengan rambut modis ala Harajuku, Jepang. Pria itu duduk di samping Clara, dan mereka mulai berbicara. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan, tapi sudah sangat jelas bagiku bahwa pria itu adalah pacar baru Clara.

"Oh, gitu," pikirku, sambil mengangguk-anggukkan kepala.

Setelah beberapa waktu, aku merasa pegal di kaki, dan akhirnya memutuskan menghentikan kegiatan mengintip ini. Dengan semua yang sudah kuamati, aku pun bisa menarik kesimpulan tentang perubahan sikap Clara. Rasanya sangat menyakitkan, tapi aku tidak bisa menyalahkan Clara. Aku sadar, yang menolak perasaannya adalah aku. Clara hanya mengikuti jalannya hidup, dan aku harus menerima kenyataan ini dengan ikhlas.

Memang tak bisa dipungkiri, ada rasa cemburu yang mendera hatiku melihat Clara dengan pria itu. Namun, pada akhirnya, aku sadar bahwa semua ini kembali lagi pada diriku sendiri. Aku belum cukup mengeksplorasi siapa diriku, belum cukup memahami apa yang sebenarnya aku inginkan. Mungkin ada banyak kesalahan dalam tindakanku yang tidak aku sadari sebelumnya. Faktanya, seminggu yang lalu, aku menolak perasaan Clara. Dan kini, seminggu setelahnya, ia sudah memiliki pacar baru. Semua ini, pada akhirnya, adalah kesalahan yang berasal dariku.

 

-II-

 

Sudah beberapa minggu sejak terakhir kali Clara dan aku berbicara. Rasa cemas semakin menggelayuti pikiranku, dan aku tahu sudah saatnya menyelesaikan semua ini. Aku tak bisa terus membiarkan keraguan menguasai diriku. Aku harus berbicara dengan Clara, memperjelas semuanya, agar tak ada lagi kesalahpahaman di antara kami. Tali persahabatan kami tak seharusnya terputus begitu saja.

Seperti biasa, aku menunggu waktu yang tepat untuk berbicara dengannya—setelah jam sekolah. Aku berdiri di depan pintu gerbang, menanti Clara keluar. Aku yakin dia tidak akan menolak jika aku ingin berbicara. Ini saat yang tepat menyelesaikan semuanya, tanpa ada gangguan dari teman-temannya.

Untuk mengisi waktu, aku menyelipkan earphone ke telinga dan mendengarkan musik. Tiga lagu berlalu, masing-masing berdurasi enam menit, yang berarti sudah 18 menit aku menunggu dengan sabar. Ketika aku merasa sudah cukup lama berdiri, aku memutuskan mencari Clara di dalam kelas, tapi tak kutemukan sosoknya di sana. Aku berjalan menuju kantin, tetapi masih tak ada hasil. Akhirnya, aku memutuskan mencarinya di taman.

Tebakanku ternyata benar. Seperti minggu lalu, Clara duduk sendirian di bawah pohon, wajahnya terlihat sendu dan gelisah. Sesekali, ia melirik ke jalan, seolah menunggu seseorang. Jantungku berdegup lebih cepat. Dengan hati-hati, aku menyembunyikan sepedaku di balik pohon besar, berharap bisa mengamati situasi lebih dekat tanpa terdeteksi.

Aku tahu siapa yang sedang ditunggunya—pria tampan yang datang seminggu lalu. Clara tak pernah bisa menyembunyikan perasaannya. Aku memutuskan menunggu beberapa menit lagi, berharap bisa berbicara dengannya setelah semua jelas.

Lihat selengkapnya