Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #12

BAGIAN VI (2)

Pukul 14.00, setelah aktivitas sekolah selesai, aku memilih tidak pulang dengan Clara karena ia sedang ada kegiatan bersama teman-temannya. Sebagai gantinya, aku mampir ke swalayan untuk membeli beberapa bahan makanan sebagai persediaan.

Jalan Pejanggik dipenuhi berbagai bangunan, dari supermarket, mal, bank, hingga toko baju. Aku melangkah masuk ke Hero Supermarket yang terkenal dengan berbagai pilihan bahan makanan lengkap dan harga yang sangat ekonomis. Aku langsung menuju ke bagian bumbu dan penyedap rasa, berusaha mencari bumbu kari yang pas untuk resep baru yang ingin kucoba.

Saat sedang asyik memilih dan memeriksa label bumbu, tiba-tiba tubuhku terbentur sesuatu. Rasanya seperti menabrak seseorang. Refleks, aku menoleh dan berkata, "Eh, maaf. Aku nggak ...."

Namun, saat aku melihat orang tersebut, jantungku serasa berhenti sejenak. Ternyata, orang yang kutabrak adalah Kalisa. Aku tidak bisa percaya dengan apa yang kulihat, tapi aku yakin sekali bahwa ini bukan sebuah khayalan. Dia benar-benar Kalisa—gadis berparas anggun dengan rambut panjang yang bergelombang.

Kami saling bertukar pandang, cukup lama, seolah-olah sedang berusaha memverifikasi keberadaan satu sama lain.

"Ri-Rio?!" Kalisa terkejut. "Kamu Rio, ‘kan?" lanjutnya dengan ekspresi tak percaya.

"I-iya. A-aku Rio," jawabku dengan sedikit gagap, tak menyangka bisa bertemu dengannya di sini.

"Astaga! Ternyata benar kamu Rio! Aku benar-benar nggak percaya kita bisa ketemu lagi!" Kalisa berseru, tampak sangat antusias, lalu senyumnya mengembang—hangat dan indah, seperti dulu.

"A-aku juga nggak percaya. Tapi ... kamu, ‘kan—"

"Gimana kalau kita ngomong di luar aja?" saran Kalisa, tampak ingin segera keluar dari suasana swalayan yang cukup ramai. "Oh iya, aku udah selesai belanjanya. Aku tunggu kamu di luar ya!" lanjutnya, masih dengan senyum lebar yang membuat hatiku berdebar.

Senyum Kalisa itu benar-benar membuat kenangan masa lalu kembali hidup. Rasanya seperti ada banyak hal yang belum tuntas, banyak waktu yang hilang tanpa sempat kami habiskan bersama. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mencoba menahan rasa haru dan perasaan campur aduk yang datang begitu saja.

Aku akhirnya keluar dari swalayan setelah memastikan semua barang belanjaan yang kuinginkan sudah ada di tangan. Di luar, Kalisa berdiri menunggu di sudut pertokoan, melambaikan tangannya dan memberikan senyum yang tak pernah pudar. Mimik wajahnya begitu bahagia, seolah-olah semua rasa rindu yang tersimpan dalam hatinya akhirnya bisa dilepaskan.

“Kamu udah selesai belanjanya?” tanya Kalisa dengan penuh perhatian.

“I-iya. Aku cuma belanja buat persediaan beberapa hari, kok,” jawabku, mencoba mengalihkan perhatian dari perasaan yang mulai tumbuh.

“Wah! Kamu hebat! Kamu selalu hidup mandiri. Aku salut sama kamu,” kata Kalisa, memberi pujian yang membuat hatiku sedikit terbang.

"Oh, ngomong-ngomong, kamu belanja apa?" Aku bertanya, mencoba mengalihkan perhatian.

“Aku belanja sayur-sayuran,” jawabnya sambil mengangkat kantong plastik di tangannya, menunjukkan belanjaannya yang sederhana.

“Kamu ke sini sama siapa?” tanyaku lagi.

“Aku sendiri kok, naik taksi,” jawab Kalisa dengan santai, seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan.

“Kalau gitu, sekarang kamu mau pulang?” Aku bertanya, meski tahu jawabannya belum pasti.

“Aku ... kayaknya nggak juga. Aku kangen sama kamu. Boleh aku ngobrol-ngobrol sama kamu?” tanyanya, dengan suara lirih, tapi aku bisa merasakan ada sesuatu yang lebih intim dalam kata-katanya.

Saat itu, aku sadar bahwa Kalisa sudah banyak berubah. Ia yang dulu pendiam dan cenderung menghindar kini tampak ceria dan penuh semangat. Bahkan, tingkah lakunya sekarang lebih mirip Clara yang selalu aktif dan antusias. Semua perubahan itu membuat Kalisa terlihat semakin cantik, dan aku tak bisa menyangkalnya.

Lihat selengkapnya