3 hari kemudian ....
Aku melangkah menuju ruang tamu, membuka pintu dengan sedikit rasa penasaran. Saat mataku menangkap sosok yang berdiri di depanku, mulutku terkatup rapat.
“Ka-Kalisa?!” seruku hampir tanpa sadar.
“Hai, Rio! Boleh masuk?” Kalisa tersenyum tipis, wajahnya memancarkan kehangatan yang sulit kuabaikan.
Aku terdiam, tak bisa mengalihkan pandanganku dari sosoknya. Kalisa kini tampak sangat berbeda. Dengan gaun merah menyala yang menempel sempurna di tubuhnya, ia tampak anggun, dengan tas merah senada yang ia pegang. Rambut bergelombangnya terikat rapi bergaya kucir, dan anting-anting di telinganya berkilau terkena cahaya. Aku hanya bisa terpaku, terpesona dengan penampilannya yang memukau.
“Rio? Kamu … baik-baik aja?” Kalisa akhirnya berkata, membuyarkan lamunanku yang mulai melayang jauh.
“I-iya, aku baik-baik aja. Masuk, yuk!” jawabku terbata, mencoba menenangkan diri, lalu mempersilakan Kalisa masuk. Dengan langkah ringan, dia berjalan menuju sofa dan duduk.
“Maaf ya, bertamu malam-malam begini,” ujar Kalisa dengan suara lembut.
“Nggak apa-apa. Emang ada perlu apa?” Aku pun bertanya, merasa sedikit penasaran dengan maksud kedatangannya yang tiba-tiba ini.
“Aku … mau ngomong sesuatu sama kamu.” Kalisa menyatukan kedua tangan di depan, seakan sedang mempersiapkan diri berbicara sesuatu yang penting. Namun, tatapannya tak menunjukkan sedikit pun keraguan.
“Boleh. Ngomong apa?” Aku menyambutnya dengan rasa ingin tahu.
“Tapi … kita ngomongnya di luar aja, bisa?” Kalisa akhirnya mengutarakan permintaannya.
“Di luar? Di mana?” tanyaku bingung.
“Kalau bisa di tempat yang sepi dan nyaman,” jawabnya dengan lembut, terlihat sedikit ragu.
“Se-sepi?!” Aku sedikit terkejut. “Kalau gitu, gimana kalau kita ke taman Udayana? Kalau kamu mau.” Aku menyarankan, berharap itu bisa jadi pilihan yang tepat.
“Boleh,” jawab Kalisa dengan senyum kecil yang mengembang, menandakan dia setuju.
Kami pun bersiap pergi, meninggalkan ruang tamu yang sejenak terasa terlalu sempit dibandingkan dengan ruang terbuka yang akan kami tuju.
“Tapi … nggak apa-apa kalau naik sepeda?” Kalisa bertanya dengan nada ragu, seakan tak ingin mengganggu.
“Sebenarnya … aku bawa mobil. Tapi …,” jawabnya, tampak sedikit canggung.
“Tapi?” Aku penasaran.
“Tapi … aku lebih suka kalau naik sepeda kamu. Dibonceng sama kamu.” Wajah Kalisa memerah seiring dengan pandangannya yang beralih ke sembarang arah.
“Eh? Apa nggak apa-apa naik sepeda? Maksud aku … pakaian kamu—” Aku sedikit khawatir.
“Nggak apa-apa.” Kalisa meyakinkan, tersenyum tipis dengan makna yang sulit kupahami. Senyum itu mengandung sesuatu, sesuatu yang lebih dalam.
“Iya, udah. Yuk!” Aku akhirnya setuju dan kami keluar dari kediamanku.
Kukeluarkan sepeda merahku dari garasi, dan dengan cepat Kalisa naik ke boncengan. Aku mulai mengayuh sepeda dengan santai, dan di sepanjang jalan, aroma parfum Kalisa yang khas terhirup dalam udara malam. Helaan napasnya terdengar samar, seperti melodi kecil yang melengkapi kesunyian. Malam itu begitu sempurna, meskipun hatiku penuh pertanyaan. Suasana hening yang melingkupi kami membuatku bertanya-tanya, apakah ini pertanda baik, atau justru sesuatu yang akan mengubah segalanya? Entahlah.