“Air matamu adalah tinta, senyummu adalah pena, saat aku menuliskan kisahku di setiap lembar hatiku. Cerita yang terjalin dari kedua hal berharga darimu itu tak akan pernah berakhir dengan kehancuran.”
Satu minggu berlalu sejak Kalisa mengungkapkan perasaannya. Aku sempat berpikir bahwa setelah hari itu, pasti akan ada perubahan pada sikap Clara. Namun, kenyataannya tidak. Semuanya berjalan normal, bahkan lebih baik dari sebelumnya. Clara tampak lebih ceria dan semangat belakangan ini. Dia bahkan lebih sering menghabiskan waktu bersamaku, seolah-olah ada yang berubah dalam dirinya.
Namun, meski begitu, kabar dari Kalisa—gadis cantik yang mengungkapkan perasaannya padaku—tak kunjung sampai padaku. Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, tetapi kemungkinan terburuk adalah: Kalisa memilih mundur dan tidak kembali ke kota ini untuk melanjutkan sekolah. Aku bisa merasakan kekecewaannya, melihat ekspresi wajahnya yang sendu, penuh dengan keputusasaan yang dalam.
Pada suatu sore setelah sekolah, Clara meminta datang ke rumahku lagi dengan alasan belajar bersama. Memang, UAS sudah semakin dekat, jadi aku harus mempersiapkan diri dengan baik untuk mendapatkan nilai yang bagus dan masuk ke universitas pilihanku.
“Seperti biasa ya, Kakak rajin belajar. Ini, silakan teh hangatnya!” kata Lina sambil meletakkan dua gelas teh di atas meja.
“Ya, iyalah! Lina juga harus rajin belajar supaya bisa pintar kayak kakak,” jawabku, menggoda adikku.
“Apa? Bukannya Lina lebih pintar dari Kakak?” jawab Lina, dengan senyum licik dan percaya diri.
“Masa sih Lina lebih pintar dari Rio?” Clara ikut menimpali, percaya saja pada apa yang dikatakan Lina.
“Bohong! Mana mungkin seorang kakak lebih bodoh dari adiknya,” tegasku, sedikit tertawa. Aku tak ingin kalah dalam hal ini.
“Ya, udah. Kakak emang pintar, tapi itu ‘kan, karena Kakak lebih dulu sekolah. Wek!” Lina mengerucutkan bibirnya, tampak kesal tapi juga lucu.
“Emang gitu, ‘kan!” jawabku, merasa sedikit bangga.
Percakapan ringan itu membawa kebahagiaan di tengah kebingunganku yang belum selesai.
“Lina tinggal dulu ya, Kak Clara. Kalau Kak Rio macam-macam sama Kak Clara, langsung ditendang aja, Kak!” Lina berseru kesal, lalu melangkah pergi dengan ekspresi lucu.
“Hahahah. Boleh juga!” Clara tertawa, agak geli mendengarnya. “Kalau gitu, lanjut ke soal berikutnya!” serunya dengan semangat, seolah tidak ada yang mengganggu.
Hari itu terasa biasa saja, atau mungkin berbeda dari biasanya. Setelah dipikirkan, aku yakin Clara tahu soal Kalisa yang mengungkapkan perasaannya seminggu lalu di taman. Tapi Clara pintar sekali menyembunyikan perasaan dan raut wajahnya. Bahkan jika hatinya sedang terluka, ia bisa menyembunyikannya dengan sangat baik. Aku sangat tahu itu. Gadis bermata sipit ini memang sulit ditebak. Namun, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah menjalani hari-hari seperti biasa tanpa membicarakan hal tersebut. Aku tak perlu membawa-bawa perasaan itu dengan Clara.
Sore menjelang malam, aku akhirnya menghentikan aktivitas belajarku. Seperti biasanya, aku harus memasak untuk Clara. Namun kali ini ada sedikit perbedaan. Clara sendiri yang memintaku memasak dan sekaligus mengajarinya.