Di pinggir pantai, suasana sore itu begitu menenangkan. Desir ombak yang pelan, angin sepoi-sepoi yang berembus, dan langit yang mulai berubah jingga nan indah, semuanya menyatu dalam harmoni. Kami duduk berdampingan, menikmati keindahan alam sambil memanjakan mata.
“Rio.” Clara memanggilku dengan lembut, matanya memandang jauh ke laut yang tak berujung.
“Iya, Ra?” Aku menoleh, menatap wajahnya yang anggun dan penuh kedamaian.
“Sebentar lagi kita bakal lulus SMA, ‘kan?” tanyanya, matanya seolah mencari jawaban lebih dari sekadar kata-kata.
“Iya, Ra, benar. Emang kenapa?” jawabku, sedikit bingung dengan arah percakapan ini.
“Nggak apa-apa.” Clara tersenyum tipis, menghela napas pelan. “Aku bahagia selama ini. Karena kamu, aku nggak lagi merasa kesepian. Pertemuan kita sangat berarti bagiku, dan aku janji, aku nggak akan melupakan semuanya,” ucapnya dengan suara yang penuh perasaan. Tatapannya tenang, ada kehangatan yang mengalir di dalamnya.
“Aku juga, Ra. Aku bahagia kamu ada di sini. Banyak hal yang berubah dalam hidupku sejak kita bersama,” jawabku, merasakan ikatan kami semakin erat.
Tiba-tiba, tatapan Clara berubah serius. Matanya yang sebelumnya lembut, kini terlihat tajam. Sepertinya ada sesuatu yang dia ingin katakan.
“Sekarang, aku mau jujur sama kamu,” katanya, suara yang terucap begitu berat. Aku menatapnya, tak bisa mengalihkan pandangan.
“Apa?” Aku semakin penasaran, perasaan gelisah mulai menyelimuti hatiku.
“Segala tentang pertemuan kita.” Clara menghela napas panjang. “Sebenarnya cerita tentang bunuh diri aku itu cuma bohong.”
Pernyataan Clara seperti petir di siang bolong. Aku terkejut dan tidak tahu harus berkata apa. Apa maksudnya? “Emangnya apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku, merasa bingung, mataku menatapnya penuh tanya.
Clara mengangguk pelan, seolah mempersiapkan diri mengungkapkan rahasia yang telah lama ia simpan. “Waktu itu … waktu kita belum saling mengenal, aku selalu memperhatikan kamu di kelas. Kamu yang selalu terlihat cuek. Saat aku tanya teman-teman, mereka bilang kalau kamu orang aneh, nggak mau berteman. Tapi aku nggak percaya sama mereka. Aku mikir, gimana caranya supaya bisa dekat sama kamu. Akhirnya aku punya ide.” Clara melanjutkan ceritanya dengan suara yang semakin dalam.
“Aku melihat kamu pulang sekolah pakai sepeda, dan saat itu aku memutuskan nyeberang jalan waktu kamu lewat. Padahal aku cuma diam. Tapi kamu menghindari aku, dan malah banting kemudi sepeda ke arah berlawanan, sampai akhirnya kamu ditabrak mobil yang melintas.”
Clara berhenti sejenak, menunduk. Aku bisa melihat kesedihan dan penyesalan yang mendalam di wajahnya. “Aku khawatir banget waktu itu. Aku bahkan datang ke rumah sakit, cuma buat mastiin kamu baik-baik aja. Tapi aku cuma ngintip kamu dari balik jendela. Maafin aku, ya. Maafin aku ... gara-gara aku,” ucapnya dengan suara gemetar. Air matanya mulai mengalir.