Di Antara Dua Hati

Marion D'rossi
Chapter #16

BAGIAN VII (3)

Dua minggu berlalu sejak ujian terakhir kami. Besok adalah hari terakhir kami menginjakkan kaki di sekolah tercinta, saling berpapasan dengan teman-teman, guru, dan staff sekolah. Besok adalah hari pelepasan kelas dua belas, momen yang sebenarnya tidak terlalu aku permasalahkan. Namun, bagiku, hari itu tetap penting. Setidaknya aku ingin meninggalkan jejak bahwa pernah bersekolah di SMAN 2 Mataram, tempat yang penuh kenangan.

Namun, ada satu hal yang terus menggangguku. Clara. Sudah dua minggu ini ia menghilang tanpa jejak. Tak pernah lagi ia berkunjung ke rumahku, tak pernah lagi menghubungiku. Ketika aku mencoba meneleponnya, nomornya selalu sibuk atau berada di luar jangkauan. Apa yang sebenarnya terjadi padanya?

Aku teringat diriku yang dulu, yang tak pernah masalah dengan kesendirian. Dulu, sepi adalah teman terdekatku. Namun kini, tanpa kehadirannya, aku merasa seperti terdampar di dasar lautan yang sunyi, seolah tak ada yang bisa mengisi kekosongan itu. Seakan-akan aku tak bisa hidup tanpanya, seolah-olah aku tak bisa berbuat apa-apa tanpa ada dirinya di sampingku. Aku merasa ketergantungan.

Keesokan harinya, pada hari pelepasan kelas dua belas, seluruh kelas berkumpul di aula sekolah lantai dua. Aku memilih duduk di barisan paling belakang, memandang sekitar dengan harapan bisa menemukan sosok yang kucari. Kedua mataku lirik sana-sini, mencari gadis dengan tubuh langsing, mata sipit, hidung mungil, dan rambut panjang lurus. Namun, tak kutemukan dia di antara kerumunan.

Acara pelepasan dimulai dengan sambutan dari Kepala Sekolah. Suasana sedikit formal. Aku tetap merasa kosong, tak bisa fokus sepenuhnya. Tiba-tiba, terdengar suara memanggil namaku.

“Rio!” Suara itu jelas sekali. Aku segera menolehkan pandangan ke sumber suara.

Dan di sana, dengan senyum manis yang selalu aku rindukan, Clara duduk di kursi kosong di sebelah kananku. Matanya yang berbinar, rambutnya yang tergerai indah, semuanya seolah menghapus semua keraguan dan kekhawatiranku.

“Apa kabar?” tanya Clara dengan senyum yang penuh makna, seakan ada cerita tersendiri di balik senyumnya itu.

“Baik. Tapi kamu ke mana aja, sih?!” jawabku, sedikit kesal.

“Maaf. Setelah ujian selesai, aku pulang ke rumah orang tuaku,” jawab Clara dengan tatapan teduh.

“Tapi kok, nggak ngabarin aku?” Aku melenguh, sedikit kecewa.

“Maaf, maaf,” jawabnya dengan suara pelan.

“Lain kali jangan kayak gitu lagi! Aku khawatir sama kamu, tahu!” kataku.

“Oh, gitu? Apa aku harus percaya sama kamu?” Clara tiba-tiba berubah ekspresi. Wajahnya mendadak judes, membuatku bingung.

“Loh?! Kok ngomong kayak gitu? Kamu baik-baik aja kan?” Aku mulai memastikan, khawatir kalau ada sesuatu yang tidak beres.

“Kenapa? Kena, deh! Aku baik-baik aja, kok. Hehehe.” Clara akhirnya terkekeh, melepaskan ketegangan yang sempat muncul.

Pembicaraan kami berhenti di situ, karena acara sudah dimulai. Kepala Sekolah mulai memberi sambutan, dan meskipun aku berusaha mendengarkan dengan saksama, pikiranku melayang. Aku bukan tipe orang yang bisa fokus lama pada pembicaraan panjang lebar. Alih-alih memperhatikan, aku malah larut dalam alam fantasi.

Setelah berjam-jam di aula yang panas dan sumpek, acara pun selesai. Beberapa teman sekelas mengajak berfoto, tapi aku memilih untuk mengabaikannya. Ada hal lebih penting yang ingin kulakukan.

Sekali lagi, aku mencoba menghubungi Clara yang berpisah denganku entah sejak kapan. Nomornya selalu sibuk, atau berada di luar jangkauan. Aku merasa semakin cemas dan tanpa pikir panjang, langsung melesat dengan sepeda merahku menuju rumah Clara.

Namun, saat aku melewati taman, mataku menangkap sosok yang tak terduga. Bukan Clara, tapi Kalisa. Aku terkejut, tapi rasa penasaran mendorongku menghampirinya. Begitu aku mendekat, pandanganku semakin kabur. Di sana, aku melihat Clara. Ia sedang duduk bersama Kalisa, berbincang dengan akrab.

Aku tak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang jelas, rasa penasaran membuatku semakin ingin tahu. Tanpa banyak berpikir, aku mempercepat langkah menuju mereka.

“Kalisa! Clara!” Seruanku menggema di udara, menghentikan langkahku di depan kedua gadis yang tampak terkejut dengan kedatanganku yang mendadak.

Aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh. Apa yang sedang terjadi di antara mereka? Kenapa Clara dan Kalisa bisa duduk bersama, saling bertatap muka seperti ini?

“Ri-Rio?!” Keduanya terkejut dan memandangku dengan mata terbelalak.

“Kalian berdua lagi ngapain di sini?” tanyaku, bingung sekaligus cemas.

“Kami … sedang .…” Clara terdiam sejenak, mungkin berusaha mencari-cari alasan yang tepat.

Lihat selengkapnya