“Debaran rinduku padamu mengusik jiwa, menanamkan kegelisahan pada hati. Kuterawang masa lalu, dan senyum itu masih terukir jelas dalam memori. Elok tubuhmu terkenang. Aku percaya suatu saat asa yang kutanam akan berbuah kebahagiaan sejati.”
4 tahun kemudian.
Setelah lulus kuliah dengan jurusan Teknik Informatika, aku akhirnya memutuskan bekerja sebagai Web Programmer di PT. Web Development. Awalnya, aku tidak berniat bekerja dalam waktu dekat. Namun, karena perusahaan tersebut sedang membutuhkan tenaga tambahan, aku pun mengikuti saran temanku untuk melamar.
Empat tahun tentu bukan waktu yang singkat, apalagi ketika hanya digunakan untuk menunggu. Seperti yang kita tahu, menunggu bisa jadi hal yang membosankan. Tak peduli berapa banyak perempuan yang datang dalam hidupku, hatiku tetap menolak. Walaupun berbagai rintangan datang silih berganti, kepesimisanku dan pikiran-pikiran negatif terus mengganggu, tapi aku selalu berusaha mengusirnya dengan bayang-bayang senyum hangat yang pernah ada empat tahun lalu.
Aku menunggu bukan karena aku tidak bisa move on. Aku hanya tidak ingin berpindah hati. Bagiku, kenyamanan dengan seseorang adalah hal yang paling penting dalam hubungan. Dulu, aku mungkin tidak paham betul tentang kenyamanan itu. Namun kini, aku mengerti dan aku memilih tetap berpegang pada kenyamanan perasaanku, yang entah kenapa tetap terbawa oleh seorang perempuan bernama Clara.
“Kak, nulis lagi?” tanya Lina yang baru keluar dari kamarnya.
Aku menghentikan gerakan jemariku di atas keyboard dan menoleh ke arah adikku. “Iya. Lina udah sarapan?”
“Belum, Kak. Nanti aja, Lina buat sarapan sendiri. Kakak lanjut aja nulisnya,” jawabnya sambil meneguk segelas air putih.
“Ya, udah.” Aku kembali melanjutkan pekerjaanku.
Banyak hal yang sudah berubah. Tapi ketika berbicara tentang masa lalu, rasanya tak pernah ada habisnya. Kenapa? Karena masa lalu itu penting bagiku. Setiap orang pasti memiliki kenangan buruk dan indah. Mengingat masa lalu bukan berarti menghentikan langkah untuk terus maju, tapi masa lalu ada untuk mengajarkan kita agar dapat menciptakan masa depan yang lebih baik. Jadi, jangan pernah membenci masa lalu, sekacau atau sepahit apa pun itu. Karena kepahitan di masa lalu memiliki kemungkinan kecil untuk kembali. Masa lalu mengajarkan kita banyak hal, agar tidak mengulangi kesalahan yang sama, kesalahan orang lain, atau kesalahan akibat tindakan mereka.
Saat kamu ragu akan langkah yang ingin kamu ambil di masa kini, tengoklah dirimu di masa lalu, pelajari apa yang telah kamu lalui, dan beranilah melangkah maju menuju masa depan yang lebih indah.
-II-
“Lina! Kakak berangkat kerja dulu, ya. Kalau nanti Lina berangkat kuliah, jangan lupa kunci pintu!” pintaku sambil berdiri di ambang pintu, menghadap adikku yang masih terbaring di tempat tidur dengan mata terbuka lemas.
“Iya, Kak. Hati-hati di jalan,” jawab Lina pelan, baru terbangun dari tidur.
Aku melangkah menuju garasi dan mengeluarkan sepeda motor milikku. Ketika mataku tak sengaja tertumbuk pada si merah—sepeda yang menyimpan begitu banyak kenangan indah—aku berhenti sejenak. Pikiranku menerawang ke masa lalu, membayangkan senyum indah itu saat aku dipeluknya. Secercah senyum tipis muncul di bibirku.
Kuhidupkan sepeda motor dan melaju menuju kantor. Di tengah perjalanan, aku menyapa salah seorang teman kerja yang sedang berjalan menuju gedung.
“Pagi, Rio!” sapa Nurul dengan senyum cerah.
Nurul adalah akuntan di PT. Web Development, tempat aku bekerja. Seorang wanita berambut panjang yang juga lulusan Universitas Mataram jurusan Ekonomi. Kami sudah kenal sejak tiga bulan lalu, ketika kami sama-sama mengikuti interview di perusahaan ini.
“Pagi, Nur. Kamu naik taksi?” tanyaku sambil menyetop sepeda motor.
“Iya. Tukang ojek nggak ada yang bangun pagi-pagi, sih,” jawab Nurul sambil tertawa kecil.
“Kan ada Gojek. Tinggal download, klik, dan nggak perlu repot cari tukang ojek yang bermalas-malasan,” balasku, seakan-akan memancing tawa.
“Gak sempat. Lain kali aja,” jawabnya sambil tersenyum ramah. “Eh, aku masuk duluan, ya. Ada laporan yang harus diselesaikan,” lanjut Nurul, kemudian melangkah menuju pintu kantor.
Aku yang dulunya kesulitan bergaul dan membuka diri, kini merasa jauh lebih mudah berinteraksi dengan orang lain, berkat beberapa bulan bergaul di kantor ini.
Segera, aku masuk ke ruang kerja yang dipenuhi perangkat komputer dan meja-meja staf. Tak lama kemudian, seseorang mengetuk pintu ruang kerjaku.
“Masuk!” perintahku.
Angga, seorang rekan kerja dari tim Developer, masuk membawa selembar kertas.
“Nih, ada permintaan pembuatan website buat toko online butik,” katanya sambil menyerahkan kertas itu.