Di sebuah kafe dengan suasana hangat, penuh dengan meja-meja persegi, lampu kelap-kelip yang menggantung indah, serta keramaian pengunjung yang bercengkerama, aku duduk di pojok barat. Mataku menatap layar smartphone sambil menunggu seseorang yang sudah berjanji bertemu malam ini.
Getar smartphone menyadarkanku. Sebuah pesan masuk.
“Duduk di sebelah mana, Mas?”
Pesan ini tentu saja dari klienku. Cepat aku mengetik balasan.
“Saya duduk di meja paling pojok sebelah barat. Sendiri. Pakai kemeja lengan panjang kotak-kotak.”
Tak sampai lima menit, seorang perempuan berjalan mendekat. Tatapan pertama yang kutangkap darinya langsung membuat napasku tercekat. Gadis itu, mengenakan dress feminin yang membuatnya terlihat begitu anggun, menghentikan langkahnya tepat di hadapanku.
“Hai! Mas yang dari—” ucapnya setengah tercekat. Matanya menatapku, penuh keterkejutan.
Aku pun tertegun. “Clara?!” Nama itu terucap spontan dari bibirku, tak dapat kuredam. Hatiku seperti terempas gelombang emosi yang begitu besar. Empat tahun berlalu, tetapi kecantikannya tetap sama, bahkan lebih memukau. Lipstik merah muda menghiasi senyumnya yang manis, membuat sosoknya terlihat sempurna.
Perempuan yang selama ini hanya ada di ingatanku, kini duduk berhadapan denganku. Aku nyaris tak percaya.
“Jadi, kamu orang dari PT. Web Development?” tanyanya, membuka percakapan dengan suara lembut yang dulu selalu kuingat.
“I-iya, benar,” jawabku, masih terkejut. “Aku juga nggak nyangka kalau kamu—”
“Aku baru hari ini sampai di Mataram,” potongnya dengan santai. “Sebelumnya aku ditempatkan di Malang. Tapi karena butik tempatku kerja membuka cabang baru di sini, aku dipindahkan.”
Aku hanya bisa menatapnya sambil mencoba mencerna semuanya. Rasanya seperti mimpi. Waktu seakan berhenti sejenak, membiarkanku menikmati pertemuan tak terduga ini. Senyumannya yang lembut membuatku terpaku. Empat tahun berlalu, tetapi senyum itu tetap sama.
“Oh, gitu,” jawabku sembari mengangguk. “Oh ya, kamu mau pesan apa, Ra?” Nama itu kembali keluar dari bibirku, membawa perasaan hangat sekaligus getir.
Clara tersenyum tipis. “Kalau gitu, aku mau pesan jus jeruk aja.”
Aku memanggil pelayan. “Mas, jus jeruk satu dan jus alpukat satu, ya.” Setelah pelayan pergi, aku kembali menatap Clara.
“Jadi, sekarang kamu kerja di bagian Web Developer?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
“Iya, Ra,” jawabku sambil menganggukkan kepala. “Setelah lulus kuliah, aku memutuskan langsung bekerja. Oh iya, soal website yang kamu butuhkan, desainnya seperti ini.” Aku membuka laptop dan menunjukkan desain yang telah kusiapkan sebelumnya.
Tatapan Clara tertuju pada layar, tapi aku tak bisa mengalihkan pandanganku darinya. Senyum hangatnya, binar matanya, semua itu seperti menarikku kembali ke masa-masa indah yang pernah kami lewati. Entah bagaimana pertemuan ini akan berakhir, tetapi saat ini, aku hanya ingin menikmati momen yang sudah lama kurindukan.
Sementara Clara memeriksa desain website yang kutawarkan, mataku tak mampu berhenti mengamatinya. Setiap detail di wajahnya terasa begitu akrab, seperti melangkah kembali ke masa lalu. Mata sipitnya yang meneduhkan, bibir merahnya yang menyimpan sejuta kenangan, serta rambut hitam berkilau yang telah lama menjadi bayangan di setiap penantianku.
“Yang ini menurutku udah bagus. Tapi ... untuk warna beberapa bagian di header-nya, aku mau warnanya pakai merah marun, ya,” katanya, masih memandang layar laptop dengan serius.
“Oh, oke. Terus, apa lagi?” tanyaku sambil mencatat permintaan itu di buku kecilku.
“Itu aja, sih. Selengkapnya nanti bisa dipikirkan lebih lanjut,” jawabnya, mengembalikan laptop ke hadapanku dengan hati-hati.
“Kalau gitu, untuk kontennya nanti kamu bisa kirim lewat e-mail, ya?” Aku menambahkan.
“Ya. Besok aku kirim kontennya kalau semua udah masuk katalog,” balasnya, menutup pembicaraan soal pekerjaan.
Tak lama kemudian, pesanan jus jeruk dan jus alpukat kami tiba. Pelayan meletakkannya di meja, dan aku mengambil gelasku sambil tersenyum pada Clara.
“Jadi ... kamu kuliah jauh-jauh ke Malang buat jadi desainer, ya?” tanyaku, mencoba mencairkan suasana.
“Mmm, iya,” jawabnya sambil tersenyum tipis. “Dari SMP, aku memang suka menggambar. Aku suka mendesain baju-baju unik. Rasanya menyenangkan bisa menciptakan sesuatu yang indah untuk orang lain,” ujarnya sambil menyedot jus jeruk yang tampaknya adalah favoritnya sejak dulu.
“Oh ya! Kamu kenal Nurul, ‘kan? Katanya dia teman kamu satu kampung,” kataku, mengalihkan pembicaraan.
“Nurul? Nurul Pratiwi?” Clara tampak berpikir sejenak.
“Bukan. Nurul Hidayah. Itu, Nurul yang ketawanya keras banget!” candaku, mengingatkan Clara pada sosok teman yang dimaksud.
“Oh, iya! Aku kenal Nurul. Dia teman aku di kampung. Kenapa? Kamu kenal juga?”
“Dia akuntan di tempat aku kerja, Ra. Aku lumayan akrab sama dia. Jadi sering ngobrol,” jawabku santai.
Clara mengangguk kecil. “Oh, gitu.”
Percakapan pun perlahan mereda, meninggalkan suasana yang sedikit canggung. Clara tampak sesekali melirik ke arahku, mungkin ingin mengatakan sesuatu, tetapi ragu. Aku pun sebenarnya ingin membuka topik soal masa lalu, tetapi ketakutan membelengguku. Aku takut Clara tidak ingin mengingat kembali apa yang pernah terjadi. Aku takut jika kata-kataku hanya akan membuatnya semakin jauh.
Keheningan di antara kami akhirnya terpecah ketika Clara memberanikan diri bertanya, “Ka-kamu masih tinggal di perumahan itu? Sama Lina?”
“Iya,” jawabku sambil mengangguk. “Aku masih tinggal di sana. Dan masih sama Lina.”
Clara tersenyum tipis, tetapi sorot matanya memancarkan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan. Ada kehangatan, ada jarak, dan ada sesuatu yang terasa seperti teka-teki yang belum terjawab.
“Lina pasti udah dewasa, ya?” tanya Clara dengan nada lembut, seolah ingin menggali lebih dalam tentang adikku.