Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #1

Cakrawala yang Sunyi (1)

Setelah telingaku tak lagi sanggup menangkap suara dan segala yang bergulir di sekitarku menjadi sesunyi potret sepia, warna pun memudar dari hidupku dan dunia perlahan-lahan meninggalkanku dalam kegelapan. Mungkin, pada suatu pagi yang sebentar lagi, aku terjaga di dunia monokrom yang hanya menawarkan adegan-adegan bisu. Ketulianku datang tiba-tiba, tapi tidak dengan kebutaanku. Aku hampir tidak menyadarinya justru. Ia pencuri yang lihai, hanya mengambil sedikit demi sedikit, tidak gegabah merenggut semuanya sekaligus. Entah sudah berapa banyak warna yang hilang dari mataku. Dunia memudar, menyisakan sedikit sekali rona.

Aku mencoba menera-nera, di manakah semua bermula, dan aku hampir pasti, meyakininya pada suatu pagi—selalu pada pagi hari—kalau tidak salah tiga bulan setelah aku meninggalkan perjamuan teh di hutan. Saat itu, matahari masih pucat nila di ujung ufuk. Aku membuka jendela dan membiarkan hawa laut memasuki kamar. Seperti biasa, aku duduk di samping jendela teluk, dan membuka salah satu sisinya yang menghadap gunung membiru. Aku menghidu dalam-dalam udara yang berembus sayup-sayup—mencari aroma garam di antara angin yang mendesau gugup. Ketika membuka mata kembali, aku mendapati camar-camar dan burung-burung berparuh oranye berterbangan dalam jarak yang tidak terlalu jauh—seolah hanya dengan jemari, aku sanggup meraihnya. Dengan mata setengah terpejam, aku menangkup tangan kanan di belakang telinga kananku, berharap dapat menangkap deru ombak, debur gelombang, kuak camar, nyiur pandan, barangkali jerit lirih lumba-lumba yang biasanya sampai saat jelang subuh—saat segala yang sayup mendekap waktu—apa saja. Sayangnya, sekuat apa pun upayaku, dunia tetap sehening biasanya. Di pesisir. Di seberang jendela. Di mana pun.

Sudah lama, Chi Vivian dan aku berbagi kamar yang sama, dan setiap pagi, selalu saja aku mendapati kasur Chi sudah rapi, dengan selimut terlipat sempurna dan bantal guling di dalam lemari. Tak terkecuali pada pagi ketika si pencuri mengambil warna pertamaku.

Ungu.

Begini ceritanya—

Seperti pagi-pagi sebelumnya, bunga-bunga lavendel di sudut jendela berkilau dibasuh binar embun, pertanda sudah disiram. Aku mendekati salah satu pot dan memandang isinya lekat-lekat. Warna kelopaknya tidak seungu biasanya, tapi hitam dengan spektrum yang sekilas mendekati ungu. Aku pun tersadar, untuk pertama kalinya, aku sudah kehilangan warna itu. Tapi aku tidak terkejut. Aku hanya mendesah lirih, tak mau terlalu memusingkannya. Apalah arti ungu jika kau memiliki sisa warna lainnya?

Aku pun membuka pintu, menjemput Chi yang sudah berdiri di pendapa dengan tangan di pungung, dengan mata bersitatap dengan samudra. Seperti pagi-pagi sebelumnya, dia memandang rahim laut yang perlahan-lahan melahirkan Matahari. Halo, Chi, selamat pagi, sapaku dengan bahasa isyarat. Chi tersenyum memandangku, lalu menggandeng tanganku. Dia tidak berkata sepatah pun. Jika kata-kata tidak diperlukan, dia selalu memilih diam. Kata-kata membuat kita berpikir, katanya. Kami berdiri di teras hingga Matahari memancarkan cahaya sepucat pasir di telapak kaki kami.

Tangan Chi terasa hangat—jauh lebih hangat daripada Matahari . Keberadaannya yang hangat senantiasa memberiku kenyamanan—menyerupai kesunyian doa-doa yang menenangkan malam-malamku.

Lihat selengkapnya