Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #2

Cakrawala yang Sunyi (2)

Sejak tinggal di sanatorium, aku selalu bangun sebelum subuh, sekitar pukul tiga—atau paling lambat, empat. Namun, sepagi apa pun aku membuka mata, Chi sudah terjaga lebih dulu, entah memandang halaman atau membaca buku dengan mengandalkan penerangan lampu taman yang redup. Terkadang, sepanjang lelapku, dia menggenggam tanganku dengan dua tangannya yang sehangat pagi.

Kini aku melihatnya berdiri di depan jendela dengan selimut melingkari tubuhnya. Tirai separuh terbuka, sebagian cahaya melintas gagap, tapi udara masih menyisakan gelap, dan dingin. Aku meraba-raba bagian bawah bantal dan lagi-lagi menemukan jasad kunang-kunang.

Kata Chi, "Saat kamu tidur, ada beberapa kunang-kunang yang memasuki lubang plafon. Ia yang tak sanggup menemukan jalan pulang terbang gamang di remang ruang, memilih bantalmu sebagai tempat peristirahatan terakhir. Mungkin berada di dekatmu membuatnya nyaman, seperti yang Chi rasakan jua."

Aku tersenyum. Padahal dialah yang menenteramkan lebih dulu, yang membuatku merasa baik-baik saja, bagaimanapun keadaanku.

Aku tak tahu apa yang Chi pandang setiap pagi, barangkali pemandangan subuh di kebun belakang yang disesaki jelatang dan ilalang, mungkin sesuatu yang lain, yang tak terjangkau mataku.

Aku berguling pelan mengubah posisi tidur dan memandang jendela teluk di sebelahku. Aku membiarkan tirainya terbuka sedikit. Karena tak ada penerangan, udara di luar gelap semata, tetapi lamat-lamat siluet hutan menghamparkan pemandangan pagi yang masih malas-malasan. Aku jadi teringat mimpiku semalam: di perpustakaan tepi hutan yang senantiasa berkabut, aku duduk di seberang bukit dandelion yang memutih dalam cahaya bulan. Karena segala sesuatunya terasa nyata, aku tak tahu lagi mana yang mimpi ada dan mana yang bukan.

Meski sudah bergerak dengan sangat perlahan, Chi menyadarinya. Saat menutup tirai yang sejak tadi menyembunyikan tubuhnya, cahaya lampu menyelinap masuk dan membentuk suatu garis pucat yang jatuh di lantai kelabu. Pendar peraknya mirip cahaya bulan yang kami lihat di teluk Bintang Laut. Setelah menyapaku dengan bahasa isyarat, Chi duduk di sampingku dan membelai rambutku. Aku menghidu aroma parfum yang dikenakannya, yang mengingatkanku kepada wangi bunga lili.

Aku memeluknya dan bertanya apa yang Chi lihat baru saja.

"Tidak ada. Tapi, berkali-kali pun memandang taman itu, aku seperti baru pertama kali melihatnya. Jadi, rasanya menyegarkan."

Sayangnya, pintu yang menghubungkan kamar dengan kebun belakang ditutup dengan gembok yang sudah berkarat. Karena tidak memiliki kuncinya, kami hanya dapat menikmatinya lewat jendela.


***


Pada hari lain, aku terjaga dan tidak menemukan Chi di tempatnya yang biasa—dia tidak berdiri di seberang jendela, membaca buku, atau menggenggam tanganku. Aku bangkit mencarinya. Mungkin menyeru namanya pula. Hampir tak ada satu pun cahaya jatuh di kamar, tapi sudah lama gelap tak menghalangiku melihat. Setitik pendar yang menyelinap dari lubang angin cukup untuk menyinari seluruh ruang.

Aku pun mendekati jendela dan menyibak tirainya perlahan. Aku terkejut melihat Chi berdiri di kebun dengan sabit di tangan kanannya. Dia berdiri membelakangiku. Di dekat pagar, ada setumpukan lalang dan daun-daun yang sudah dipangkas.

Dia terlihat lelah. Seluruh bajunya bersimbah keringat, tapi ketika menghadap jendela dan melihatku, dia tersenyum cerah bestari. Dengan bahasa isyarat, dia mengatakan selamat pagi. Ada lingkar tipis hitam di matanya. Dia pasti belum tidur.

"Ternyata menyiangi ladang di bawah purnama menyenangkan juga."

"Jadi Chichi semalaman—"

"Benar. Bagaimana? Aku ingin memberimu kejutan."

Aku tak mampu berkata-kata.

Lihat selengkapnya