Aku meraba-raba bagian bawah bantal dan menemukan jasad kunang-kunang di sana. Kata Chi, "Saat kamu tidur, ada beberapa kunang-kunang yang memasuki plafon. Ia yang tak sanggup menemukan jalan pulang terbang gamang di remang ruang, memilih bantalmu sebagai tempat peristirahatan. Mungkin berada di dekatmu membuatnya nyaman, seperti yang Chi rasakan jua."
Aku tersenyum. Padahal dialah yang menenteramkan lebih dulu, yang membuatku merasa baik-baik saja, bagaimanapun keadaanku.
Di sanatorium, Chi selalu terjaga pagi-pagi benar dan mengawali hari dengan memandang halaman yang dipenuhi semak ilalang dan jelatang—biasanya dengan selimut masih melingkari tubuhnya. Aku yang terjaga belakangan akan berguling pelan mengubah posisi tidur dan memandang jendela di samping lelap—karena kamar kami terletak di ujung gedung, jendela sampingnya langsung menghadap hutan. Meski aku sudah bergerak sepelan mungkin, berusaha tidak menjatuhkan sehelai pun suara, Chi selalu menyadarinya. Saat menutup tirai yang sejak tadi menyembunyikan tubuhnya, cahaya lampu taman menyelinap masuk dan membentuk suatu garis pucat yang jatuh di lantai kelabu. Pendar peraknya mirip cahaya bulan yang kami lihat di teluk Bintang Laut. Dia menyapaku dengan bahasa isyarat, lalu membelai rambutku. Aku menghidu aroma parfum yang dikenakannya, yang mengingatkanku kepada wangi bunga lili.
Aku memeluknya dan bertanya apa yang Chi lihat baru saja.
"Kebun."
Sayangnya, pintu yang menghubungkan kamar dengan kebun belakang ditutup dengan gembok yang sudah berkarat. Karena tidak memiliki kuncinya, kami hanya dapat menikmatinya lewat jendela.
***
Pada hari lain, aku terjaga dan tidak menemukan Chi di tempatnya yang biasa—dia tidak berdiri di seberang jendela, membaca buku, atau menggenggam tanganku. Aku bangkit mencarinya. Mungkin menyeru namanya pula. Hampir tak ada satu pun cahaya jatuh di kamar, tapi sudah lama gelap tak menghalangiku melihat. Setitik pendar yang menyelinap dari lubang angin cukup untuk menyinari seluruh ruang.
Aku pun mendekati jendela dan menyibak tirainya perlahan. Aku terkejut melihat Chi berdiri di kebun dengan sabit di tangan kanannya. Dia berdiri membelakangiku. Di dekat pagar, ada setumpukan lalang dan daun-daun yang sudah dipangkas.
Dia terlihat lelah. Seluruh bajunya bersimbah keringat, tapi ketika menghadap jendela dan melihatku, dia tersenyum cerah bestari. Dengan bahasa isyarat, dia mengatakan selamat pagi. Ada lingkar tipis hitam di matanya. Dia pasti belum tidur.
"Ternyata menyiangi ladang di bawah purnama menyenangkan juga."
"Jadi Chichi semalaman—"
"Benar. Bagaimana? Aku ingin memberimu kejutan."
Aku tak mampu berkata-kata.
"Ternyata kunci pintu taman ada di ruang suster, dan selotnya tidak serusak dugaanku. Engselnya rajin diminyaki jadi tidak bunyi ketika aku membukanya. Sebenarnya ada alat pemotong rumput, tapi aku tak mau membuat siapa pun terganggu dengan suara kencangnya."
Chi mengajakku duduk di teras.