Hujan memutihkan seluruh jalan.
Aku tidak tahu ini jam berapa, sepertinya sudah lewat tengah malam—mungkin menjelang subuh—terasa pula pagi sudah sebentar lagi. Dingin yang menyelinap masuk di langit-langit, mengendap sunyi di udara, seolah aku masih bermimpi. Aku membuka kain tipis di balik jendela. Kunang-kunang berkejaran di belakang pepohonan. Mungkin menari—gerakannya membentuk huruf s yang lembut di antara tetes air—melompati daun-daun dan ranting-ranting yang berkilau di sayup-sayup embun.
Aku memeluk selimut erat-erat, berusaha menghalau dingin yang mengendap, namun sia-sia.
Di depan jendela, Chi berdiri dengan satu tangan menyentuh kaca. Selimut kelabu melingkari tubuhnya. Ada seberkas cahaya melintas di dalam ruangan—entah lampu taman, entah rembulan—menyinari rambut panjangnya yang terurai.
Pagi nanti, Chi dan aku berencana menghabiskan hari dengan berjalan-jalan di sekitar sanatorium untuk mencari alamat sungai yang, menurut pendapatnya, jaraknya tidak terlalu jauh—kau dapat mendengarnya begitu jendela terbuka. Dengan senang hati aku mengiakan ajakannya.
Aku tak ingat, kapan terakhir kami menyusuri sepanjang jalan desa. Lama sudah kami menghabiskan hari-hari di kamar, tanpa menjelajah dunia luar, kecuali berjalan-jalan pagi di dekat sanatorium—mengunjungi pasar dan toko buku di seberang gereja.
Jika suaranya terdengar begitu jendela terbuka, bagaimana mungkin Chi tak langsung menyadarinya?
Mungkin karena selalu ada di sana, menjadi sesuatu yang senantiasa di latar belakang, aku dengan mudah mengabaikannya, tapi ketika hening menguasaiku, dan segala yang sampai terdengar jernih, aku mendapati suara itu begitu tenang, dan saking tenangnya, seperti ada di sebelahku. Aku langsung tahu, tempat itu pastilah indah, dan aku ingin mengunjunginya bersamamu.
Chi sudah meminjam kursi roda di ruang perawat—dan Suster Kiarra membolehkannya, bahkan meminta kami menyimpannya saja di kamar. Ada banyak persediaan di sini, katanya. Aku pun tersenyum, membayangkan sungai yang mengisi impian Chi, membayangkan sejuknya berada di sana.
Karena tidak ingin mengusik Chi saat memandang pagi di seberang jendela, aku yang bosan berbaring, beringsut sepelan mungkin. Aku ingin mengambil air yang diletakkan di meja samping lelapku. Namun, ketika kakiku menyentuh tanah, Chi berpaling kepadaku. Barangkali ranjangku berderit.
Pagi, Lusi.
Pagi, Chi.
Aku duduk di tepi kasur dan kemudian sembunyi lagi dalam selimut. Aku tahu, hujan membuat pagi menjadi dingin tak terperikan, tapi tak mungkin sedingin ini, bukan?—ratusan es sebesar jarum seolah menusuk tulang dan membuat gigiku gemetar. Aku melihat uap putih membawa pergi sejengkal napasku. Bagaimana Chi tahan berdiri di depan jendela dengan hanya berselimut kain, bertelanjang kaki, pula?
Seraya tetap berbaring, aku memandang jendela, dan menyadari, pendaran putih yang sejak tadi mengambang rendah di hutan bukanlah cahaya manai rembulan atau matahari subuh yang sembunyi di batas ufuk, melainkan kabut yang menebal. Aku memanggil Chi dengan suara yang tak sanggup kudengar—entah seperti apa bunyinya, aku mulai melupakan suaraku sendiri—kemudian dengan bahasa isyarat, aku bertanya.
"Chi, tidakkah kau mendengar suara tawa?"
"Suara tawa—siapa?" Chi Vivian mendekat kepadaku. Jari-jarinya gemetar.
"Para Elf."
"Elf? Peri?"
Aku mengangguk. "Elf bukan peri, tapi iya—semacam itu."
"Dalam mimpimu ada peri juga?"
"Bukan begitu." Aku tertawa. "Aku belum melihatnya secara langsung. Tapi seseorang di mimpiku menceritakannya kepadaku."
"Chi jadi penasaran. Siapa dia?"
"Laurel."
"Chichi mendengarkan."
Chichi sudah tahu, bukan? Dalam mimpiku, aku menetap di perpustakaan kakak-beradik Paman Mika dan Chi Rika. Chi Rika tidak tinggal di sana, tapi di ujung jalan desa, di samping pekuburan kuno. Namun, Chi Vivi jangan khawatir. Paman Mika sangat baik—dia menjagaku, memberiku tempat berteduh, dan makan sehari-hari, bahkan membiarkanku mengelola taman di depan rumahnya.