Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #4

Cakrawala yang Sunyi (4)

Ketika pagi menjelang, Matahari bersinar cerah mengusir udara gelap. Awan-awan terlihat putih, bersih, dan kering. Tapi cuaca tetap sedingin biasanya. Aku menyentuh cahaya Matahari yang melandai di ambang jendela. Ada hangat yang nyaman menyelimuti jantungku.

Aku mendekati Chi dan mengingatkannya kepada rencana kami mencari alamat sungai, aku bersemangat membayangkan hari kami yang sibuk, yang sebentar lagi mengisi waktu kami. Aku gembira, sebab berarti ada banyak peristiwa yang dapat kusimpan di buku harian. Tak apa kalaupun jalan basah, toh setapak yang biasanya kami lalui cenderung berbatu, hujan sederas apa pun tak membuatnya licin. Kalaupun harus melewati jalan biasa, yang berlempung, kami dapat membersihkan sandal sesampainya di sana. Segala medan kami pasti sanggup lewati. Aku juga menyukai udara sehabis hujan, yang terasa sayup-sayup mengisi rongga dada dengan kesejukkan yang menenangkan. Chi ragu, tapi akhirnya mengiakan, bahkan ikut semangat sepertiku. Apakah suaranya masih terdengar? Chi Vivian membuka pintu belakang, kemudian memejamkan mata, berusaha menangkap suara jernih air—selirih apa pun—yang diembuskan angin. Alih-alih, yang datang justru teriakan Bi Uus. "NA—SI KU—NING!" Ketika memberi tahu aku, Chi tertawa, yang membuat tawanya menular pula kepadaku.

Bi Uus adalah pedagang nasi kuning bakulan yang setiap pagi mampir di taman bermain sanatorium. Kalau hari cerah sehabis hujan begini, para koki kantin tidak memasak terlalu banyak lauk, sebab para penghuni pasti memilih sarapan di luar, sekalian berjemur. Anak-anak mengejar pendar Matahari yang dipenuhi kebaikan hati, bermain seluncur dan ayunan dan undak-undak. Kantin hanya menyajikan menu sederhana, antara teh, kopi, roti atau kue-kue basah tradisional yang dibeli di pasar, dan omelet, semuanya dimaksudkan sebagai "sarapan kedua" yang tidak membuat perut begah.

Chi dan aku bukan kekecualian.

Rasa nasi kuning Bi Uus biasa saja—dengan taburan abon, telur balado, telur dadar yang dicacah memanjang, dua potong timun, dan prekedel—tapi karena masih panas saat disajikan, jadi enak sekali. Entah jam berapa Bi Uus terjaga setiap pagi. Jauh sebelum matahari terbit, dia sudah menjajakan nasi kuningnya, dan bakulannya sudah ludes terjual sebelum pukul sembilan. Begitu terus setiap hari. Terkadang, dia juga menjual combro dan buras yang tandas segera setelah kain penutup dibuka.

Suara lantang Bi Uus saat menjajakan nasi kuning selalu berhasil membuat perut siapa pun lapar, termasuk aku—tentu saja aku tak mendengarnya, tapi aku tak perlu menjelaskannya berkali-kali, bukan? Aku kerap menjadikan rasa lapar sebagai pertanda hidup, jika aku masih lapar, berarti belum sekarat, kurang lebih begitu. Chi mengambil kursi roda yang ada di sudut ruangan, tapi aku menahannya. Memang ada saat-saat aku begitu lemah sehingga kakiku terlalu lemah untuk menopang tubuhku, tapi tidak dengan pagi ini, aku sekuat simpanse. Lagipula, aku tak perlu berjalan jauh, hanya sekejapan mata dan aku sudah sampai di taman sanatorium.

Ayo, Chi! Aku membuka pintu dan menarik lengan chichiku—manusia paling berharga di hidupku. Di depan kamar, ada lorong panjang yang selalu mengingatkanku kepada tempat di mana aku berada—rumah sakit. Setiap kali melewatinya, perasaan rawan yang tidak nyaman membungkus benak. Warna putih di dindingnya terlalu bersih—terlalu steril—hampir tanpa jiwa, membuat kekosongan di dalam hatiku jadi bertambah. Aku yakin keadaannya akan jauh lebih baik jika ada pot bunga atau tanaman yang menghiasi sisi-sisinya—atau sepasang jendela yang menghadap kebun, barangkali. Apa saja selain meja dan bangku yang jumlahnya agak terlalu banyak ini. Namun, bagian depan sanatorium, terutama ruang tunggu dan perawat, sangat berbeda. Aku selalu suka duduk di balik jendela ruang tunggu—memandang taman bermain yang biasanya dipenuhi anak-anak. Ada televisi tabung tergantung di samping lemari buku, tapi aku belum pernah melihatnya dinyalakan, mungkin sudah rusak. Tapi tapedeck di sebelahnya lumayan sering mengumandangkan lagu-lagu lama. Kepada Chi aku bertanya, lagu apa yang saat itu diputar, tapi Chi hampir selalu tidak tahu. Di depan pintu, terlihat Bi Uus sudah melayani beberapa pelanggan, bahkan suster-suster dan beberapa pasien senior, yang usianya barangkali sudah menginjak 60-70 tahun, juga ikut antre. Chi membaur dengan mereka, dan aku duduk di sudut taman, di samping perosotan yang berkilau dimandikan hujan semalaman. Jika ada yang menyapaku, aku berusaha membaca gerak bibir dan menjawabnya dengan nada selembut mungkin, tapi biasanya aku hanya sendiri.

Lihat selengkapnya