Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #6

Cakrawala yang Sunyi (6)

Sementara kami asyik bertukar cerita, Chi sudah memasang kuda-kuda di pojok teras dan bersiap melukis. Kebetulan cuaca cerah, langit pun terbuka tanpa satu pun awan. Udara terasa nyaman, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas, seolah dunia mengalami pukul tiga sore abadi. Angin mengalir sepoi-sepoi.

Beberapa hari lalu, seorang teman yang Chi anggap sebagai agennya berkata, ada seseorang yang tertarik memesan jasa Chi sebagai pelukis dan dia menanyakan persetujuannya. Tapi bukan lukisan wajah seperti biasa, katanya, melainkan sampul buku. "Seperti apa konsepnya?" Aku melihat Chi mengangguk dengan tangan masih mengangkat gagang telepon. Sepertinya dia menyukainya. Jika sesuai dengan seleranya, Chi pasti menyetujuinya. Selama cuti kuliah, melalui perantaraan temannya, Chi membuka pesanan lukisan dengan kuota tertentu setiap bulannya, tapi biasanya yang masuk hanya lukisan wajah. Jarang sekali ada permintaan lain, apalagi melukis sampul buku.

Tiga hari kemudian, Chi mendapat paket. Rupanya, selain konsep, penulisnya mengirim naskah novelnya sekalian. Chi berhenti mengerjakan pesanan dan malah membacanya selama berhari-hari. Karena selalu menghayati setiap kata dengan secermat mungkin, Chi butuh waktu seminggu untuk menamatkannya, padahal halamannya tidak banyak, mungkin hanya dua ratusan. Aku ingin membacanya juga, tapi Chi melarangnya. Masih rahasia, katanya. Esoknya, setelah menentukan tanggal tenggat, sebagian pembayaran dibayar di muka.

Seraya duduk di ayunan, aku memandang pohon randu yang tumbuh di sampingku. Rasanya nyaman sekali. Daun-daunnya yang lebat tumbuh tanpa mengenal musim. Sebagian besar dahan sudah digelantungi buah-buah kapuk. Ketika kapas-kapas akhirnya gugur, suasananya jadi seperti musim "salju" saja. Beberapa helai kapuk melandai di rambut dan bahuku. Helai-helai yang lain, menutupi sebagian kecil tanah halaman. Beberapa sisanya sudah layu dan kotor. Aku enggan membersihkan yang jatuh di bahuku, tapi tak tahan mengumpulkannya menjadi buntalan-buntalan yang kelak aku lemparkan ke pojokan kebun.

Dengan menikmati gugurnya buah-buah randu, salah satu cita-citaku terwujud. Sejak dulu, aku selalu ingin melihat salju. Lusi-yang-lain sudah mengalaminya, tapi aku belum. Sampai aku menyadari, yang tak kalah penting dari pengalaman saat meraih sesuatu, adalah perasaannya—dan aku sudah mencapai yang itu. Cahaya matahari yang jatuh di antara dahan menciptakan titik-titik cahaya di tanah. Aku memeluk jaketku dan mendekati cahaya terdekat. Chi menjuluki pohon ini pohon tidur, sebab kapuk-kapuk yang berguguran mengingatkannya kepada bantal.

Besi-besi penyangga ayunan tua yang aku duduki ini sudah berkarat dan bagian bangkunya sedikit berembun. Aku mengayunnya perlahan, tapi berat sekali dan gerakannya tidak lincah. Akhirnya, setelah beberapa kali mencoba, aku menyerah dan memilih duduk saja di sudut bangku, bersandar dalam naungan ranting-ranting randu yang teduh, lalu memandang Chi dan Suster Kiarra yang asyik bercengkerama.

Aku sedikit cemburu melihat Suster Kiarra dekat dengan Chi. Apalagi saat Suster Kiarra merunduk di samping Chi. Rambutnya yang panjang dan berwarna cokelat tua jatuh di bahu kirinya. Chi tidak tampak terganggu. Setelah mengatakan sesuatu entah apa kepada Suster Kiarra, dia memandang matanya dan tertawa. Tapi rasa cemburuku tidak berlangsung lama. Sebaliknya, aku justru lega sebab di sanatoriun yang sepi ini, Chi mempunyai teman lain selain aku—yang bisa diajaknya bicara dengan tanpa harus menggunakan bahasa isyarat.

Jadi aku sendiri saja mengayun ayunanku yang sepertinya menggemakan suara karat—andai saja telingaku dapat mendengar. Tak lama kemudian, Suster Kiarra datang. Dia mengayunku lamat-lamat. Kami tidak membincangkan apa pun, tapi hatiku tenteram. Hening yang terlahir di antara kami terasa alami. Seekor capung terbang melintas di depanku dengan gerakan sayap yang kaku. Pernahkah capung-capung melandai di tanah? Mereka selalu mencari tempat untuk hinggap—entah di daun, dahan, atau pintu—tapi aku jarang melihat mereka ada di tanah. Mereka selalu tampak kebingungan.

Aku memandang langit yang diteduhkan awan-awan. Tidak ada tanda hujan akan turun, tapi udara tetap sedingin biasanya. Chi Vivian meletakkan dua tangannya di belakang telinga kanan dan kiri. Dia memejamkan mata dan berkata, di belakang geming cuaca, menggema pekik nyaring serangga hutan dan suara sungai. Daun-daun berdesir lembut, beberapa hewan yang menginjak ranting-ranting kering di ceruk rimba, terdengat seperti keretak kayu pada unggun api, kata Chi, mewakiliku mendengar. Dia menjelaskan semuanya dengan kata-kata sedetail mungkin. Hutan tidak pernah sepi, bisiknya. Selalu ada suara, menyapa, entah gemersik kaki menginjak daun-daun gugur, dering geming sayap serangga, sungai yang mengalun merdu, ruak katak, hingga gamelan dan seruling yang mengharu-biru dari kejauhan di bukit sana. Biasanya, pada malam-malam nan sunyi, ketika terjaga sendiri pada dini hari yang muram, aku akan memandang jendela, lalu mengingat apa yang dikatakan Chi, dan membayangkan suara-suara di luar sana.

Bukankah hidup ini indah?

Lihat selengkapnya