Rumah Suster Kiarra terletak di sebelah hutan damar yang senantiasa berkabut pada musim apa pun, tapi terutama pada malam hari hingga menjelang subuh—suasananya seperti kau ditelan awan kelabu, ungkapnya. Rumahnya berdinding oranye, seperti senja, seperti unggun sajak, jendelanya putih dan gentingnya merah tua.
Jangan-jangan—aku memandang Chi. Setelah mendengar pemaparan suster, insaflah kami, penggambaran beliau tidaklah asing. Saat kali pertama kami tiba di kota ini, sepertinya secara sekilas kami melihatnya, jauh sebelum mengenal Suster, tentunya.
Chi ingat, 'kan? Rumah itu.
Ah, tentu.
Bagaimana, bagaimana ceritanya?
Kira-kira setahun yang lalu.
Setelah semalaman menyeberang lautan dan berlabuh di pelabuhan kota, kami berkendara hingga tiba di stasiun Projobaya. Kami duduk di bangku tunggu. Ci Nesia yang masih merantau tidak ikut bersama kami, tapi doanya menyertai senantiasa. Kereta baru datang lima jam kemudian, saat sudah menjelang siang. Saat para penumpang berjalan menuju gerbong, matahari menebarkan bayang-bayang sepanjang badan. Setelah mengecup ayah dan ibu, Chi menggenggam tanganku dan membimbingku menuju tempat duduk di salah satu gerbong yang aku lupa nomornya. Aku mendapati mata cokelatnya berlinang sedih. Rambutnya jatuh di pelipis, membingkai wajahnya yang lembut. Lalu kereta berjalan tenang, meninggalkan Projobaya di belakang, memasuki daerah yang kami belum sekali pun tandang. Aku duduk di samping jendela, tapi memutuskan berganti tempat dengan Chi ketika kereta memasuki daerah yang hanya menyajikan hamparan jemu persawahan. Sejauh berhektar-hektar hanya itu yang nampak—sawah yang menghijau, berganti-gantian dengan tegalan dan padang rumput, sesekali diselingi permukiman penduduk dan pepohonan yang jarang. Langit begitu luas tak terbatas, burung-burung seperti sia-sia saja mengarunginya. Lalu aku bersandar di bahu Chi, tanpa sadar memejam mata.
Saat aku terjaga, kereta sudah memasuki daerah perbukitan, dengan bunga-bunga pusparona tumbuh liar di sisi lembah hijau—saking indahnya pemandangan, sampai-sampai aku tak yakin lagi ini bukan mimpi belaka. Pegunungan menjulang di belakang kabut-kabut kelabu yang menutup saujana, tapi terlihat wujudnya samar-samar. Puncaknya yang berawan, sunyi yang agung, diam dalam meditasi panjangnya. Dengan beralas bantal, Chi menyandarkan kepala di jendela, matanya terpejam dalam permenungan, di telinganya tersumbat pelantang yang terhubung dengan walkman, entah lagu apa yang didengarnya. Meski kereta tertutup rapat, entah bagaimana udara sejuk memenuhi paru-paru dengan aroma manis pinus dan cemara. Aku suka bunyi-bunyi statis mesin loko dan suara gerbong yang mendesis ketika kereta menikung. Andai aku dapat mendengarnya.
Kereta mendaki gunung, kemudian melintasi jalan panjang di dataran tinggi dengan hamparan kebun yang luas. Ketika kami yakin sudah tiba di pelosok terdalam, kereta terus menanjak seolah tiada berakhir—menuju pegunungan yang lebih dalam lagi. Lebih dalam lagi. Di jendela, rumah-rumah mulai jarang, digantikan lahan dan sawah yang membentang sejauh berkilo-kilometer. Suhu mulai mendingin dan awan kelabu yang sejak tadi menggantung rendah seolah menjadi kabut yang memburamkan kaca jendela, lalu buyar dalam kilas putih yang mengatup seluruh pandang. Hujan turun deras—suasana menjadi kelabu.
Aku memeluk jaketku erat-erat dan berusaha memasukkan tanganku dalam saku, tetap saja tidak dapat menghalau dingin. Saat aku mengembuskan napas, uap putih keluar melalui rongga hidung dan mulut. Chi Vivian merangkulku. Meskipun ada sorot sedih di matanya, dia tidak terlihat lelah, tapi justru bersemangat. Kami menghabiskan nyaris seluruh usia di pesisir pantai yang hangat dan berlimpah cahaya. Jadi, ketika berada di wilayah pegunungan berkabut tebal, kami jadi sedikit tidak sabar.
Kamu lelah?
Aku menggeleng. Tidak. Chi?
Tidak juga.
Mulai saat ini, Chi hanya punya kamu dan kamu hanya punya aku.
Iya.
Aku menyandarkan kepala di bahunya. Sanatorium itu seperti apa, Chi?
Chichi juga kurang tahu, tapi menurut yang Chi dengar, tempatnya cukup besar dan dilengkapi dengan ruang berolahraga dan berjemur. Kamarnya nyaman dan luas, dengan dua kasur—satu untuk pasien dan satu untuk penjaga. Ada satu sofabed juga. Untuk berjemur setiap pagi, ada kebun pribadi luas yang dilengkapi dengan perosotan dan ayunan.
Sebagian besar kata Chi benar, kecuali kebun pribadinya—aslinya berantakan dan hanya ada ayunan.
Rumah Suster Kiarra dekat dengan stasiun tempat kami berhenti nyaris setahun lalu. Bangunannya tidak besar, tapi halamannya luas dan tidak dipagari. Pagar lamanya rusak, kata Suster Kiarra. Alih-alih memperbaikinya, Ayah malah membuangnya sekalian. Kebunnya sarat bunga yang merekam berbagai macam warna—dan Suster Kiarra menyusunnya dengan cantik. Barangkali pemandangan itulah yang menginspirasi mimpi-mimpi indahku setiap malam. Kebun di rumah Suster sangat mirip dengan kebunku di rumah Paman Mika.
Suster Kiarra melanjutkan ceritanya.
Di kebun rumah, aku meminta Ayah menceritakan masa kecilku. Aku ingin menelusuri kenangan-kenangan yang aku alami bersama Ibu. Ayah pun mengiakannya.
Hingga bakda magrib, kami duduk di teras, setidaknya sebelum rahim tanah melahirkan kabut-kabut senjakala. Aku mencatat cerita-cerita itu dalam buku, yang ketika aku membacanya, semuanya seperti mimpi yang jauh di awang-awang. Tapi, pada suatu senja yang biasa saja, aku mendapati satu kenangan yang—aku yakin—benar-benar pernah aku alami, satu-satunya kenangan sejati tentang Ibu.
Pada suatu malam berbintang, menjelang tahun baru, Kiarra-kecil dan ayah-ibunya berpiknik di bantaran sungai di dalam hutan. Kiarra duduk dalam pangkuan ibunya di pintu tenda, memandang unggun yang menyala di bawah langit berbintang. Ayah menganggapnya malam tahun baru terindah yang pernah dilaluinya. Kita begitu dekat—tak terpisahkan, katanya.
Setelah mendengar kata-katanya, Suster Kiarra tersentak. Dia mengingatnya.
Ketika malam bertambah larut, suara sungai yang tenang membuatku terkantuk. Aku tidak ingat apa yang terjadi setelahnya—atau bahkan kapan terjadinya. Aku hanya tahu bahwa, saat itu, aku bahagia.
Kepada kami, Suster Kiarra memperlihatkan potret ibunya yang ternyata sangat cantik, yang berdiri di samping seorang pria kikuk. Ayah dan ibuku, kata Suster Kiarra. Bisakah kamu melukis ini: Ibu, Ayah, dan aku dalam satu frame? Aku ingin memberikannya kepada Ayah sebagai hadiah ulang tahun.
Chi Vivian mengangguk. Lalu dia teringat sesuatu. Bus terakhir sudah berangkat pukul lima tadi. Lalu, bagaimana Suster pulang?
Tidak pulang, kok. Suster Kiarra tertawa. Rencananya, setelah kita selesai mengobrol, aku bermalam di penginapan dekat sini. Aku biasa tidur di sana kalau pulang telat, sekalian menyepi.
Penginapan itu murah, tapi gelap, soalnya sudah tua—masih pakai lampu bohlam—sepertinya lebih tua daripada sanatorium ini. Lagipula, besok libur.
Kalau menginap di kamar ini, apa ada masalah?
Suster Kiarra memandang kami. Tidak, tapi jangan khawatir. Aku tidak apa, kok. Kalau mau, sebenarnya ada kamar suster juga di sini.