Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #9

Hujan Turun Sepanjang Jalan (3)

Sofia


Setelah memasukkan kunci yang sudah berkarat dalam lubang kunci, Sofia memutar kenop perlahan-lahan. Begitu mendengar bunyi klik, dengan pundak mungilnya, dia mendorongnya kuat-kuat. Tidak mudah memang, tapi dia sudah terbiasa. Ketika pintu terbuka dan engsel yang kering berhenti menjerit, cahaya matahari yang dipenuhi kebaikan hati, segera menghangatkan jiwa dan raganya.

Sofia menghapus butir-butir keringat di keningnya, lalu merapikan rambutnya yang panjang sebahu dengan jari. Selamat pagi, bisiknya. Dia duduk di bangku bambu samping rumahnya, kemudian memainkan kalung harmonika di lehernya. Dipanggilnya nada La yang panjang, kemudian Fa yang sama panjang, lalu ditutupnya dengan Mi yang menggantung di ujung tiup. Sofia tersenyum, napasnya sudah lebih tahan dibandingkan dahulu.

Setelah dia menyimpan harmonikanya di balik baju, hening segera menyesaki udara, tapi tidak lama. Burung-burung yang sejak tadi tekun mendengar Sofia, segera membalas dengan nada yang tak kalah indah. Sofia memejamkan matanya dan menarikan jarinya. Senyum teruntai tanpa dia sadari. Sungguh, tak ada yang seindah senandung burung-burung di alam bebas pada pagi belia. Berapa kali pun mendengarnya, mustahil aku bosan.

Setelah puas mendengar kicauan burung-burung, Sofia kembali memasuki rumah untuk mengambil keranjang anyaman di muka meja, lalu berjalan menyongsong hutan. Langkahnya riang, nyaris melompat-lompat. Pertama-tama, dia mengisi botol minum di sungai, lalu menyantap buah-buah beri yang tumbuh di sisi jalan. Dipungutnya pula beberapa apel dan pir yang berjatuhan di tanah lapang. Pagi belum beranjak menjadi siang ketika dia kembali memasuki pondoknya untuk membaca dan mencatat. Mumpung cahaya masih berlimpah.

Pondoknya sederhana saja, hanya bilik kayu dengan dua kamar tidur, dapur di luar ruangan, tumpukan kayu bakar di dekat jendela, dan bilik mandi di seberang sungai. Satu-satunya hiasan di dalam rumah hanya foto keluarga di pojok mejabaca dan potret sepia Ibu ketika masih remaja. Di sebelah meja, ada rak berisi 50-an buku bersampul tebal—di antaranya koleksi lengkap Kisah 1001 Malam dan kumpulan lengkap dongeng Andersen bersampul biru yang dulu dibacakan ayahnya menjelang lelap. Di salah satu rak, tersimpan mesin tik tua dan berim-rim kertas, serta papan bertuliskan delapan bait puisi karya Kahlil Gibran—karena begitu sering membacanya, Sofia sudah menghapalnya di luar kepala. Begini bunyinya,

Tujuh kali telah kucemoohkan jiwaku:

Pertama, ketika kulihat dia menunduk agar mendapat ketinggian.

Kali kedua, waktu kulihat dia berjalan timpang di muka si pincang.

Kali ketiga, waktu dia berkesempatan memilih antara yang sukar dan mudah, dan memilih yang mudah.

Kali keempat, ketika dia berbuat salah, lalu menghibur diri bahwa orang lain pun telah melakukan kesalahan.

Kali kelima, ketika dia bersabar demi kelemahan, dan menghubungkan kesabaran itu dengan ketabahan.

Kali keenam, ketika ia mencemooh keburukan seraut wajah, namun tidak menyadari bahwa itu salah satu topengnya sendiri.

Kali ketujuh, ketika dia menyanyikan lagu pujian, dan merasa berbuat kebajikan.

Orang tua Sofia sudah tiada. Ibunya meninggal saat melahirkannya, dan ayahnya dalam kebakaran hebat setahun lalu. Ketika itu, Justin baru saja berbaring di samping putrinya, Sofia, saat mendengar suara derak yang keras. Itu suara api, berasal dari lantai bawah, tapi tidak sejauh itu. Jantung Justin berpacu saat dia meraih Sofia dan memeluknya. Dia tahu harus berlari sekencang mungkin, tetapi terlambat, api menyebar begitu cepat. Justin bergegas ke jendela terdekat dan membuka pintunya, namun engselnya rusak. Dia menghantamnya dengan kepalan tangan, tapi tenaganya tidak cukup. Justin panik. Dia berusaha mendorong dengan bahunya. Berhasil. Namun, kamarnya berada di lantai dua. Dia tak mungkin melompat begitu saja. Sementara asap mulai merabunkan mata dan memendekkan napasnya, perasaan putus asa menghantamnya. Ah, dia teringat pada tangga darurat yang disimpannya di gudang samping kamarnya. Dia cepat-cepat mencarinya, meraihnya, dan membuka lipatannya secepat yang dia bisa, lalu berusaha menenangkan tangannya yang gemetar. Dengan Sofia masih dalam pelukannya, Justin menuruni tangga. Hujan turun dengan deras di luar sana, tapi dia tidak peduli. Dia harus membawa putrinya ke tempat aman. Namun nahas, plafon rumah ambruk menindih dan membuatnya terempas. Karena kepalanya merunduk melindugi Sofia, tiga paku berkarat menancap di tengkuknya. Justin jatuh mengempas tanah dan tak sadarkan diri. Untungnya, sebelum memejamkan mata, dengan sekuat tenaga Justin melempar Sofia. Teriakan terakhirnya seolah merenggut nyawanya pula. Sofia mendarat dengan kepala terlebih dahulu, tapi selamat tanpa kurang suatu apa, hanya sedikit lebam dan sesak, serta gegar otak ringan. Dia masih setengah sadar ketika menyaksikan rumahnya memendarkan warna serupa unggun. Pemadam kebakaran datang terlambat, begitupun ambulans. Justin segera dilarikan ke rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong. Sofia, karena tak mempunyai saudara, diungsikan ke panti asuhan Santo Ignatius yang terletak di Jalan Tigabelas, tapi memutuskan pergi sebab tidak tahan dengan perlakuan zalim para susternya. Dalam rindunya, Sofia teringat pondok kecil di jantung hutan. Ayahnya selalu mengajaknya menghabiskan musim gugur di sana.

Maka, pergilah dia.

Dengan membawa tas kecil berisi beberapa helai pakaian, Sofia berjalan di tengah kota. Kepalanya menunduk menghindari cahaya. Tidak ada yang mendengar isaknya dan tidak ada yang memperhatikannya. Dia sebatangkara di dunia sarat manusia. Namun, begitu memasuki hutan, perasaan sedihnya menghilang. Dalam sembap malam, di bawah manai rembulan, dia memasuki jalan yang dicekungkan pohon-pohon tua. Kunang-kunang menuntun langkahnya.

Ketika sampai di tanah lapang, dia terdiam sejenak untuk mencari alamat sungai dan memastikan langkah dengan menatap bintang-bintang. Dia mengambil dahan jatuh yang cukup besar untuk dijadikan penopang. Begitu kembali memasuki hutan, dia dihadapkan pada undakan licin yang curam dengan dinding sarat lumut dan tanaman merambat. Sofia berpegang pada akar-akar yang menjalar dan berusaha menjaga langkahnya agar tidak terpeleset. Selebihnya, gelap. Dia hampir tidak dapat melihat. Namun, lama-lama matanya terbiasa.

Akhirnya sampai juga dia di sungai yang dicarinya—tersembunyi di antara janggut-janggut muram pepohonan. Tidak dalam, tetapi jernih. Dengan hati-hati, dia mengambil air untuk membasahi kerongkongannya yang kering, tapi menarik tangannya kembali. Rasanya seperti disengat ribuan jarum. Dingin sekali. Belum apa-apa jari-jarinya sudah membiru. Dia mencobanya sekali lagi. Rasanya tidak terlalu dingin seperti tadi. Dia menadah air dengan tangannya, tapi setangkup tidaklah cukup. Nekat, Sofia menelungkup di rumput, lalu mendekatkan bibirnya ke permukaan sungai. Dia minum sepuasnya.

Bulan sudah berada di puncak kepala ketika dia menyeberangi sungai dan tiba di jantung hutan — di pondok kecilnya yang nyaman. Seketika saja, meski lapar mengganggu tidurnya sepanjang malam, perasaan nyaman yang sudah lama meninggalkannya, menyelimuti benaknya.


***


Lihat selengkapnya