Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #11

Hujan Turun Sepanjang Jalan (5)

Tadi pagi, aku hanya menyantap satu setengah kroisan dan secangkir teh hangat. Biasanya cukup, tapi rupanya dingin membuatku jadi cepat lapar. Membayangkan mi ayam di warung tepi sungai saja aku menelan ludah. Rasanya aku sanggup berjalan tanpa kursi roda. Lagipula jaraknya tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter di seberang sanatorium.

Kamu belum pernah makan di sana, ya? Enak, lo. Beda dengan yang biasa.

Di mata Chi, segalanya beda dengan biasa—tak ada dua rasa yang persis sama. Manis yang satu beda dengan yang lain, gurih yang satu beda pula dengan yang lain.

Aku mengangguk.

Karena sudah lama tinggal di sanatorium, meski tidak selalu pasti, aku mulai memahami cuaca. Jika deras sudah kadung jadi gerimis, biasanya susah untuk kembali menjadi deras. Aku memandang jendela dan mendapati hujan hanya menyisakan gerimis tipis yang nyaris tak kasatmata andai tidak disentuh cahaya, jadi segalanya baik-baik saja. Masalahnya tinggal tanah yang mungkin masih berlumpur setelah semalaman dihunjam hujan.

Chi segera meminta izin kepada perawat di ruang depan dan aku mengikuti di sampingnya. Sementara dia menghilang di balik ruang putih yang dingin itu—dan sangat berbeda dengan bagian lain sanatorium yang sarat pot besar palem, aku bersandar di dekat jendela dan memandang anak-anak bermain lato-lato di taman depan. Beberapa duduk di ayunan, beberapa lainnya di tangga perosotan, tapi tidak ada yang bermain di papan seluncurnya. Mereka bukan penghuni sanatorium, tapi bebas memasukinya selama tidak mengganggu—dan sepertinya tidak ada satu pun yang terganggu, bahkan sebaliknya, pasien sepertiku sering ikut bermain. Aku juga kadang duduk di taman seraya memperhatikan anak-anak berkejaran. Selama tidak tantrum, tak ada yang seindah tawa dan mata mereka, yang sejernih cuaca sehabis hujan.

Di pojok taman, ada gadis kecil bergaun putih duduk termangu seorang diri. Aku belum pernah melihatnya, dan sepertinya dia bukan penduduk setempat. Penampilannya jauh berbeda dari anak-anak lain yang biasa main di sini. Dia membaca buku yang besar sekali—dan terlihat berat. The Story of Philosophy karya Bryan Mage. Aku sempat meminjamnya di perpustakaan dan melahapnya dalam empat hari. Buku tersebut lebar dan sarat gambar—seperti ensiklopedka, tapi tidak terlalu tebal. Sepertinya ada satu lema yang membuatnya tertarik. Dia membacanya dengan posisi begitu dekat, sampai-sampai aku cemas hidungnya jatuh menyentuh lembar halaman. Lalu dia menengadah dan menyadari keberadaanku. Kami bersitatap sejenak, tapi dia segera memalingkan wajah. Kesan pertamaku tidak begitu baik, tapi dia terlihat seperti malaikat, begitu cantik dan murni, nyaris terlihat rapuh. Di bawah Matahari yang menyentuh rimbun dedaunan, dengan pandangan mata yang mengawang, sosoknya seolah menyembunyikan kedalaman yang jauh melampaui usianya. Saat itu aku belum tahu, tidak lama lagi lami akan berteman akrab.

Sudah beberapa bulan lamanya, lato-lato menjadi permainan yang disukai anak-anak—dan aku sempat memainkannya, tapi ternyata tidak semudah yang terlihat. Karena baru terkenal setelah aku tak sanggup mendengar, aku tak tahu bagaimana bunyinya. Mau dibayangkan pun percuma. Hanya tak tak tak tak yang terngiang di kepala. Kata Chi mirip bunyi alu di lesung yang melatari hari-hari masa kanak kami. Jika benar begitu, aku jadi menyesali ketidakmampuanku mendengar. Hampir setiap hari, almarhumah Nenek, Ibu, dan tetangga menumbuk alu di halaman belakang rumah kami yang dipenuhi ayam. Disusul suara ayakan padi yang terdengar hingga menjelang petang. Sudah lama aku tidak mendengarnya, terutama sejak Nenek meninggal. Jika suara lato-lato mirip dengan alu di lesung, aku ingin mendengarnya.

Chi datang beberapa saat kemudian dengan membawa payung transparan. Jangan sampai hilang, ya, katanya. Ini punya Ibu Antoni.

Ketika kami berjalan, aku memandangi tetes-tetes air yang jatuh di permukaan payung. Hujan pagi tadi ternyata lebih deras daripada dugaanku semula. Bunga-bunga yang tumbuh di sisi setapak berguguran, menciptakan pemandangan warna-warni seolah hendak dilewati mempelai pada pesta perkawinan hutan. Sekalipun ada duka mendalam, menyadari betapa singkatnya usia bunga-bunga, memandangnya membuatku damai. Aku yang hampir tak sanggup melihat apa pun—mendung kelabu seolah menodai semua warna yang sanggup ditangkap mataku—tersadar, ternyata warna-warna indah itu belum benar-benar meninggalkanku. Aku keluar dari payung untuk mengambil sekuntum bunga kuning cerah, lalu memasukkannya dalam tas.

"Boleh?"

"Tentu."

Sesampai di sisi sungai, kami mendapati warung masih tutup, padahal sudah siang dan gerimis yang sejak tadi turun ritmis, mereda dan tinggal setipis sunyi. Kami memutuskan duduk di sisi warung, dalam naungan rimbun mahoni yang buah-buahnya menggelantung rendah hampir jatuh. Kata Chi, ada suara siamang di kejauhan. Karena tidak punya bayangan seperti apa suaranya, aku bertanya kepada Chi. Chi yang bingung menjelaskannya mengangkat dagunya dengan sidik jempol, lalu mengambil buku yang senantiasa dibawanya. Dia membuat gambar siamang yang dilengkapi balon dialog. U—kukukukukuk! Aku mencoba menirukannya dengan suaraku, tapi kenapa tanganku malah berpose seperti ayam. Karena Chi tertawa, aku meneruskannya. U—kukukukukukuk!

Bangku yang kami duduki menawarkan pemandangan bukit yang menghijau dalam kilau, seolah setiap pohon dihiasi permata yang embun. Kami memandang sungai yang mengalir deras—lebih deras dari kemarin—mungkin karena hujan turun sepanjang malam. Waktu terasa lambat bergulir—bahkan seperti tidak bergerak sama sekali. Kami berada pada "saat ini" yang abadi.

Dari bangku bambu di depan warung, kami memandang setapak yang biasanya dilewati petani dan jalan terjal di sisi lembah, di bantaran sungai. Jika kau menyusurinya, di ujungnya ada jalan raya yang tidak terlalu besar tapi cukup untuk dilewati dua mobil. Ada sebuah halte tua yang bentuknya menyerupai gubuk kayu di salah satu sisinya. Jika kau duduk di bangkunya, dapat kaupandang ladang-ladang yang membentang di lereng lembah. Di dinding belakang halte ada bingkai kosong yang tidak berkaca. Bangkunya terkadang dipenuhi sampah daun yang harus digusah sebelum diduduki. Chi ingin melihatnya bersamaku. Aku yakin halte itu indah sekali, katanya. Jika sudah begitu, aku hanya bisa mengiakan. Hanya saja karena jalan setapaknya terjal, aku sedikit gentar. Chi memutuskan untuk mengambil kursi rodaku di sanatorium, tapi aku berkata, tongkat saja cukup. Benar? Aku mengangguk. Lalu dia memintaku menunggunya sementara dia mengambil tongkat di kamar kami.

Sementara Chi pergi, aku memandangi capung-capung yang melintas di atas sungai—ada empat yang berbaris dua-dua tapi tidak sejajar. Di salah satu buku yang tak kuingat lagi judulnya, sepertinya ensiklopedia dari lemari Chi, aku mendapati fakta bahwa capung adalah penanda bahwa air di sekitar kita masih murni. Aku belum pernah meminum air dari mata air murni. Jadi aku duduk bersimpuh di hadapan sungai itu, lalu menangkup airnya dengan dua tanganku. Ternyata rasanya enak sekali. Aku minum sekitar tiga gelas kecil. Aku jadi penasaran bagaimana rasanya jika air ini dijadikan teh. Lalu aku menengadah dan melihat seekor elang hutan terbang rendah—hanya sedikit di atas pohon mahoni—berputar-putar mencari mangsa.

Saat melihatnya, aku teringat masa kecilku.

Dulu, pada pagi belia, aku sering berjalan di hutan dekat rumah untuk mendengar kicau burung yang menggema di antara rimbun. Suara mereka begitu mirip, tapi sekaligus sangat berbeda. Tidak seperti burung-burung di pantai, burung-burung di hutan lebih pemalu. Terkadang hanya suaranya yang terdengar, sementara wujudnya entah di mana.

Lihat selengkapnya