Kini, di sanatorium, bertahun-tahun setelah Puri tiada, mengenang lagi saat-saat duduk di samping Gereja Bintang Laut dan memandang teluk yang berkilauan dibasuh cahaya perak purnama, menghangatkan hatiku. Mungkin karena berlimpahnya waktu, aku selalu mengingat Puri. Rasanya tidak ada hari tanpa merindukannya.
Dia sudah tak ada di mana pun, tapi aku justru menemukannya di mana-mana; bahkan sekarang, ketika aku hidup di daerah pegunungan, bukan laut. Karena ingin mencatat segala yang kami lalui bersama, setiap kali namanya terlintas, aku selalu menuliskannya. Aku tak ingin kenangan gugur bersama daun-daun lupa. Kenangan adalah bukti, bahwa saat-saat yang aku lalui, betapapun pedih, betapapun perih, adalah sesuatu yang berharga.
***
Makin lama, Puri dan aku jadi makin dekat.
Hampir setiap hari kami berjumpa.
Ketika Ayah mengajak berlibur di luar kota, Puri ikut bersama kami.
Chi Vivian senang. Dia seperti mendapat adik baru, apalagi Puri sehobi dengannya—sama-sama kutubuku.
Chi Nesia pun begitu. Aku jadi sedikit cemburu.
Di sekolah, Puri mulai mampu berbaur. Prosesnya tidak terjadi begitu saja. Namun, perlahan-lahan, julukan gadis kecil pelamun berwajah muram mulai hilang dari dirinya, berganti menjadi seorang sahabat yang tutur katanya sehangat pagi. Puri banyak tersenyum, bahkan ketika tidak tersenyum. Empat jilid Hikayat Seribu Malam perlahan mengubahnya—dari profesor yang setiap ada kesempatan selalu menjabarkan fakta-fakta ilmiah menjadi pendongeng yang menyimpan cerita dalam setiap tutur katanya. Ketika gerimis turun rapat, dia melihat peri-peri pemetik air hujan. Dia menganggap kupu-kupu bersayap kuning sebagai anak-anak Matahari. Dia masih suka membaca buku pada jam istirahat, tapi tidak menolak ketika diajak bermain. Jika hari libur bertepatan dengan musim purnama, dia mengajakku dan Chi Vivian menghabiskan subuh di Gereja Bintang Laut, terkadang dengan membawa ember berisi kantung plastik ziploc, garuk, dan sekop, tapi lebih sering tidak. Pada awalnya, aku tidak mengerti apa asyiknya duduk memandang rembulan tanpa menangkap ikan dan kerang? Namun, perlahan-lahan aku mulai memahaminya. Di sanalah, di tebing teluk yang airnya mulai surut, untuk pertama kalinya aku mendengar keinginan Puri untuk menjadi gurita bertangan banyak.
Dengan tangan-tangan guritaku, aku ingin memasukkan seluruh dunia ke dalam pelukanku.
Aku tertawa. Tetapi, dengan sepenuh hati, aku menerima rentangan tangannya dan masuk ke dalam pelukannya. Di rumah sakit, dia mengulangi harapannya kembali. Seraya mengelus kepalanya sendiri, yang botak, dia tertawa girang. "Setidaknya aku sudah menempuh separuh jalan untuk mencapai cita-citaku yang luhur."
"Cita-cita apa?"
"Jadi gurita."
"H—ah? Kok gurita?"
"Kamu lupa, ya? Aku ingin bereinkarnasi jadi gurita merah jambu, lalu dengan tangan-tanganku yang banyak, aku akan memasukkan kalian ke dalam pelukanku."
Tentu saja aku ingat.
"Sekarang aku botak. Gurita 'kan botak. Aku sudah separuh jalan menjadi gurita."
Dan ketika rambut-rambutnya mulai tumbuh kembali, dia tertawa terbahak-bahak. Aku benar-benar tidak mengerti, tapi ikut tertawa bersamanya.
***
Ketika aku menulis kalimat ini, seekor kumbang lycidae, dengan sayap jingganya, merangkak di hadapanku—seolah hendak menegaskan keberadaannya yang kecil dan rapuh. Aku membawanya dengan jari. Berdiri di balik jendela, aku sadari langit hampir gelap. Aku membuka pintu dan membiarkan kumbang itu melewatinya. Ia langsung terbang dan menghilang ke dalam kegelapan.
Chi duduk sendiri di halaman. Di pangkuannya ada sebuah buku, tapi dia tidak membacanya. Alih-alih, dia membiarkannya dalam posisi terbalik. Cahaya senja masih membayang di angkasa, berusaha menghalau petang yang sebentar lagi datang menjelang. Aku tidak tahu sejak kapan Chi duduk di sana. Dia mengenakan jaketnya. Di meja, ada secangkir teh hijau yang masih mengepul. Aku mengetuk jendela dan menyapanya. Saat Chi memalingkan wajah, mata kami bertemu. Dia melambaikan tangannya. Kemarilah, bisiknya. Aku menganggukkan kepala, lalu menjerang air panas di dapur. Di lemari ada berbagai merek teh celup, aku memilih Kepala Djenggot dan menambahkan dua sendok perasan lemon dalam gelas. Di dalam kulkas, masih ada semangkuk bubur kacang hijau yang kami beli siang tadi. Aku sekalian memanaskannya juga. Di kamar kami ada dapur kecil dengan peralatan lengkap. Chi terkadang memasak sayur-sayuran yang dia beli di pasar.
Dengan membawa segelas besar teh hijau dan semangkuk bubur kacang, aku menghampiri Chi dan duduk di sampingnya.
Kacang hijaunya masih enak?
Masih. Chi mau?
Mau.
Aku menyuapinya sesendok.
Enak, katanya.
Lalu, apa yang Chi lakukan di sini?
Chi tersenyum. Sebentar lagi kamu akan tahu; tunggu saja.
Aku hanya mengangguk. Chi jarang menyembunyikan sesuatu, tapi semenjak kami tinggal di sanatorium, dan hanya memiliki satu sama lain, dia mulai sering berkata tunggu. Aku terpaksa beradaptasi dengan kebiasaan barunya. Karena tidak ada lagi yang ingin diperbincangkan, aku meminta Chi menjadi telingaku, menjelaskan suara apa saja yang terdengar senja itu. Aku hanya perlu membaca gerakan tangannya dan mendengarkan desing sayap serangga dan burung-burung yang berterbangan di langit. Pohon randu sudah selesai menggugurkan buah-buah kapasnya.
Ketika matahari terbenam sepenuhnya dan petang berubah menjadi malam, dari semak-semak di sisi jalan setapak, seekor kunang-kunang muncul begitu saja, seolah menunggu saat yang tepat untuk memperlihatkan diri. Cahayanya yang hanya sebesar titik seperti sia-sia menghalau gelap. Namun, tak lama kemudian, kunang-kunang itu mengundang teman-temannya yang lain, yang kemudian mengundang teman-temannya juga. Tahu-tahu, selaksa kunang-kunang berkilau dengan cahaya hijau-keemasan. Aku memandangnya tanpa berkedip sedetik pun. Di mataku yang hampir buta, cahaya itu ternoda warna kelabu, tapi tetap saja pemandangan itu luar biasa indah.
Biasanya, hanya segelintir kunang-kunang yang berterbangan di kebun kamar kami, tapi ini—sungguh tidak sebanding dengan yang kini ada di hadapanku. Bagaimana mungkin?
Ah, begitu rupanya. Kenapa aku tidak langsung menyadarinya? Chi memadamkan lampu taman. Dia berkata, ternyata sakelarnya ada di dalam kotak kecil di belakang tiang. Tanpa lampu taman, kebun jadi segelap pejam. Kunang-kunang menari riang gembira.
Chi bertanya kepadaku, kamu merindukan Puri?
Aku tersenyum dan memandang cangkir tehku, membiarkan permukaannya yang panas menghangatkan telapak tanganku. Bagaimana Chi tahu? Chi mengintipku saat menulis?
Chi menggelengkan kepala. Tidak, tapi ketika aku melihat punggungmu bergetar, aku tahu kamu menangis, dan bukan tangis yang biasanya. Kamu menangis terisak-isak. Meski begitu, tanganmu terus bergerak, jari-jarimu tidak berhenti menulis, seolah kamu takut melewatkan satu kata pun. Aku ingin memelukmu, memintamu berhenti, tapi aku tak mau mengganggumu. Jadi, aku membiarkamu sendiri saja. Ketika itulah, sepercik ide datang kepadaku. Aku memadamkan lampu teras dan membiarkan halaman menjadi gelap. Selebihnya aku berdoa, semoga kunang-kunang sudi datang untuk memenuhi kebun kita dengan cahayanya yang teduh. Bukankah kamu dan Puri sangat menyukai kunang-kunang? Kamu ingat, ketika kita merayakan tahun baru bersama Puri?
Tentu.
Setiap kali kunang-kunang berterbangan di hadapanku, aku selalu teringat Puri, pada matanya yang memandang takjub, pada air matanya. Chi memperhatikan halaman yang dipenuhi kunang-kunang. Dia yang ingin menghiburku justru terlihat lebih membutuhkan penghiburan dibandingkan aku. Chi selalu begitu. Aku menyandarkan kepala di bahunya. Di kota kita, sudah semakin jarang kita melihat kunang-kunang, tapi di sini—betapa berlimpahnya! Puri pasti senang.
Aku mengangguk. Aku teringat Arwah Kunang-Kunang yang Puri ceritakan kepadaku bertahun-tahun silam. Puri mengaku, saat kunang-kunang menyelimuti kota, dia melihat gadis misterius berdiri di balik cahaya. Aku yang tidak suka mendengar cerita seram, menutup telinga rapat-rapat. Tapi, ketika Puri dirawat di rumah sakit, dia meyakinkan padaku, Arwah Kunang-Kunang sama sekali tidak jahat. Dia hanya ingin berjalan-jalan di kota, sama seperti kita. Jangan takut kepadanya. Sebaliknya, jika kau bertemu dengannya, sapalah dia. Puri bahkan mengangkat sebelah tangannya lalu mengajakku menautkan jari kelingking.
Janji? Aku mengangguk.
Sebenarnya aku tidak terlalu percaya pada sesuatu yang gaib, dan Arwah Kunang-Kunang salah satu di antaranya. Mustahil cahaya kunang-kunang sanggup menerangi seorang gadis kecil, berapa pun jumlahnya. Apalagi kunang-kunang di kota kami hanya sedikit. Namun, ketika melihat kunang-kunang di halaman kecil kami, aku berpikir Arwah Kunang-Kunang mungkin saja muncul dan memandang mataku.