Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #19

Vivamus, Moriendum est (2)

Ramalan cuaca di radio mengabarkan bahwa hari ini akan cerah. Tapi aku tidak ingin ke mana-mana, sebab tubuhku terasa lemah. Sejak bangun, aku sudah batuk-batuk dan baru berhenti beberapa saat lalu. Aku sudah meminum obat pemberian dokter tepat pada waktunya dan memutuskan berbaring di kasur dengan masih mengenakan masker. Chi memeriksa suhuku dengan menempelkan dahinya di dahiku, tapi tidak terasa panas. Untuk memastikannya, dia meminjam termometer di ruang perawat. Tetap saja, suhuku normal.

Jika sudah begini, aku ingin bermanja-manja saja di dekat Chi. Dia duduk di samping ranjangku. Bersama, kami merangkai dunia yang ingin kami wujudkan. Sehijau apa pohon-pohonnya, sebiru apa langitnya, lalu kami membayangkan sebuah negara yang benderanya berwarna biru dan hijau. Dia menggenggam tanganku hingga aku terlelap, dan tetap di sana hingga aku terjaga lagi. Mungkin pelukis memang dianugerahi kesabaran yang luar biasa. Padahal aku tidur cukup lama—dua atau tiga jam—tapi Chi selalu ada di sampingku; menggenggam tanganku dengan tangannya yang hangat. Ketika terjaga, yang pertama kali kusadari adalah kehangatan yang tertinggal di telapak tanganku, yang juga menghangatkan hatiku.

Selama berhari-hari, tidak ada yang terjadi—tentu, mungkin banyak yang terjadi, tapi aku menghabiskan sebagian besar waktu dengan berbaring di kasur. Aku hanya makan sedikit dan tidak menghabiskan sebagian besar lauk di dalam piring. Aku hanya menyesap tehku beberapa kali sebelum berhenti dan menjadi makanan semut. Bahkan membaca pun terasa berat. Sudah lama aku tidak menyentuh pena. Kalaupun terjaga, aku hanya berbaring menyamping dan memandang pemandangan di depan jendela di sisi ranjangku. Hari-hari silih berganti. Gelap menerang dan terang menggelap. Tapi Chi selalu ada di sampingku. Dia tidak banyak berkata-kata seperti biasa.

Dalam tidurku, aku tidak banyak bermimpi. Namun, kata Chi, dia kerap mendapatiku gelisah seperti bermimpi buruk. Dia harus mengelap peluh di keningku berkali-kali. Jika aku terlihat sangat menderita, dia segera membangunkanku dengan lembut. Aku terjaga dan menggenggam tangannya, lalu tidur lagi.

Pagi ini, aku terjaga dengan rasa lapar yang hampir tidak tertahankan—dan aku menyukai rasa lapar—yang aku terjemahkan sebagai hasrat untuk tetap hidup. Aku ingin makan sesuatu yang enak—yang sederhana, mudah ditelan, tapi enak.

Ketika menyadari aku sudah terjaga, Chi yang sejak tadi berdiri di balik jendela, langsung beranjak mendekatiku. Tepat ketika dia menyentuh tanganku, suara ketukan terdengar dan Suster Kiarra masuk membawa senampan lauk sarapan. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Seperti biasa dia membawa menu untuk bertiga. Ada sup ayam, ikan bakar yang matang sempurna tanpa sedikit pun jejak gosong, nasi goreng, dan aneka salad dan sayur, serta sajian penutup seperti yogurt dan buah-buahan. Aku boleh memilih terlebih dahulu. Aku mengambil sop ayam dan mencicipinya sesendok. Wortel dan kentangnya terasa segar seolah baru dipanen, ayamnya pun empuk. Bawang bombay, seledri, dan daun bawang memberi citarasa khas sop ayam tradisional, tapi ada rasa pedas dari lada putih yang membuat dadaku menghangat dan keningku berkeringat. Chi membagi separuh ikan bakarnya untukku, dan berkata, "Setelah lama berbaring, kamu butuh asupan protein dan omega-3 untuk kesehatan jantung dan otakmu."

Aku tertawa, "Chi jadi mirip Puri."

"Iya, ya."

Sementara kami bersantap, dengan seizin Chi, Suster Kiarra melihat lukisan-lukisan yang baru setengah jadi. Chi menyusun hampir semua lukisannya di dekat pintu halaman, sisanya di teras. Ada lukisan pesanan Suster Kiarra juga, yang dikerjakan Chi hampir setiap hari, kecuali pada hari Minggu. Sepertinya Suster Kiarra menyukainya—dia memandanginya lama sekali.

Seperti biasa, pada pagi hari, Chi membuka pintu halaman dan jendela lebar-lebar, membiarkan hawa sejuk memasuki ruangan. Ketika suara biola Aurel terdengar, aku duduk di beranda. Kondisi tubuhku sudah sangat baik, dan rasanya aku siap pergi jalan-jalan sejauh apa pun, tapi Chi dan Suster Kiarra memintaku istirahat. Aku mengiakan.

Aku memejamkan mata ketika lagu Ave Maria karya Schubert mulai terdengar—aku bahkan menyanyikan baitnya juga. Ave Maria, gratia plena. Tapi memutuskan berhenti beberapa saat kemudian dan memilih hanyut dalam suasana. Ave Maria memberiku perasaan damai dan tenang, tapi The Swan—atau Le Cygne—bagian dari The Carnival of the Animals karya Camille Saint-Saens, yang Aurel mainkan sesudah bait terakhir Ave Maria, entah kenapa membuat hatiku terasa sedikit pedih, seolah ada yang mematahkannya. Lalu dia memainkan Air on G String karya Bach, tapi berhenti di tengah lagu dan memilih memainkan lagu lain yang aku tak tahu judulnya. Theme from 'A Summer Place, kata Chi. Lagu yang benar-benar indah. Aku terkejut ketika mendengar intro lagu Damai Bersama-Mu—salah satu lagu Chrisye favoritku di album AkustiChrisye, yang juga menjadi salah satu album favoritku—dengan tempo yang sedikit diperlambat.

Semua lagu yang dimainkan Aurel begitu menenteramkan. Ketika mendengarnya, aku merasa terberkati. Aku jadi ingin menyampaikan kepadanya sesuatu mengenai Simfoni Pepohonan. Aku mengingat nadanya yang aneh tetapi indah itu.

Pendengaranku semakin jernih saja—mungkin ada hubungannya dengan rasa sakitku beberapa hari belakangan. Aku mulai mengurangi intensitasku memakai bahasa isyarat dan kembali kepada lisan. Rasanya menyenangkan bercakap-cakap seperti biasa. Aku juga mulai sering meniup kalung harmonikaku lagi. Memainkan nada-nada yang panjang, bertukar sapa dengan burung-burung. Karena takut mengganggu Aurel, aku hanya memainkannya ketika dia tidak memainkan biolanya, tapi pada suatu malam, saat aku duduk di halaman, memainkan kalung harmonikaku, aku mendengar Aurel menyambungnya dengan biola. Senandung kami saling beradu dan membentuk suatu simfoni yang terasa padu dengan suasana alam sekitar. Aku bahkan tidak menyadari apa yang kami mainkan—seolah benak kami disatukan nada.

Lihat selengkapnya