Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #8

Hujan Turun Sepanjang Jalan (2)

Setelah memandang bintang-bintang yang tumpah seperti susu di permukaan hitam langit malam, kami berjalan sedikit lebih lama. Aku menengadah. Bimasakti mengikuti dalam sayup, diam-diam mengalir di belakang dan di depan kami. Ia terasa dekat sekaligus jauh sekali. Tenang sekaligus sarat suara.


***


Bukankah hidup ini indah?

Dan keindahan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegembiraan atau penderitaan. Ia seperti perpaduan warna yang membentuk sebuah lukisan. Dia ada dalam segala hal, termasuk penderitaan dan perjuangan manusia.

Aku menggenggam tangan Chi yang mendorong kursi rodaku, lalu menengadah memandang langit yang dihalangi daun-daun. Suster Kiarra berjarak beberapa langkah di depan kami dengan lampu teduhnya. Selain pemandangan Bimasakti dan segala yang terjadi malam ini, bau asap yang menguar dari lampu itu akan kukenang selamanya, bahkan setelah aku mati. Semoga saja.


***


Semoga semua makhluk bahagia.


***


Esok paginya, saat membuka mata, aku mendapati seluruh ruang tidak terlalu gelap. Mungkin matahari sudah terbit, tapi aku tak terlalu yakin. Untuk memastikannya, aku menyibak tirai dan tersentak. Permukaan kaca putih bersih seolah hutan yang hingga semalam terbentang di sana, lenyap begitu saja.

Lagi-lagi hujan, hujan yang deras dan rapat tumpah di depan sana. Renjisannya meninggalkan embun yang menebal di kaca. Aku menyentuhnya untuk merasakan getarannya. Segera saja, hawa dingin mengalir di telapak tangan dan jari-jariku. Aku mengusap kaca, berusaha menghapus kabut yang merabun di sudut mata. Percuma. Hanya manai di hadapan, seolah seluruh warna direset dan hanya menyisakan putih kabut dan siluet kelam pepohonan.

Dan dingin sekali.

Aku memeluk selimut erat-erat dan mengembuskan napas. Uap putih melayang di udara gelap. Syukurlah Chi menyimpan lukisan-lukisannya di dalam kamar, kalau tidak, pasti sudah dirusak hujan.


***


Beberapa hari lalu, aku meminta Chi menggantung lukisan "Bukit Dandelion"—yang mengabadikan pemandangan di mimpiku—di depan ranjangku. Aku ingin setiap terlelap dan terjaga, lukisan itulah yang kali pertama kulihat.

Jamnya dicabut saja, toh kita tidak membutuhkannya, tambahku.

Benar juga, ya, di sini kita tidak terlalu membutuhkan waktu.

Kami biarkan saja waktu berlalu sesuka hati. Secepat apa pun dia berlari, dia takkan sanggup mengejar kami, yang berada pada saat ini—yang abadi.

Tak ada yang abadi, kecuali saat ini.

Tapi, aku baru sadar, tidak seperti biasanya, aku tidak melihat Chi berdiri di balik jendela. Aku mencarinya di mana-mana, mungkin dia keluar, atau mandi. Tapi lampu toilet masih padam. Lalu aku sadar, Chi masih tidur. Dia menutupi seluruh tubuhnya, bahkan wajahnya juga, di balik selimut—aku menyadarinya bergerak lembut naik turun mengikuti napasnya yang tenang.

Di sebelah sana, sofabed yang digunakan Suster Kiarra sudah kosong dan selimutnya terlipat rapi.

Aku berjalan menuju meja, berusaha tidak menjatuhkan sehelai pun suara, bahkan tidak memakai sandal. Biarkan saja dingin tehel yang membeku membuat gigi gemeletuk. Syukurlah, Chi tidak terganggu, dia masih tidur di bawah selimut. Mungkin karena bunyi hujan begitu kencang, lelapnya jadi berlarut-larut. Aku menarik selimutku pelan-pelan lalu melilitkannya di tubuh seperti jaket.

Aku mendekati kasur Chi. Entah bagaimana, menyadari ayunan napasnya melegakanku. Di dekat bantalnya, ada Walkman—pemutar kaset portabelhitam yang sudah berhenti berputar, dengan kotak album Hyde "Roentgen" di sampingnya.

Lalu aku menghirup dalam-dalam udara jernih yang ditawarkan pagi, yang bersih dari polusi, yang menjadi alasanku menetap di sanatorium ini. Aku menggeser kursi pelan-pelan sekali, berharap tidak menjatuhkan sehelai pun suara, kemudian duduk di depan meja dan menyalakan lampu baca. Setelah mengambil buku catatan, aku menyingkirkan jauh-jauh buku yang Chi beli di toko buku setempat—jika tidak begitu, aku akan tergoda untuk berhenti menulis bahkan sebelum kalimat pertama menjumpai tanda titik—dan memilih larut dalam bacaan.

Di sanatorium, ada perpustakaan kecil yang koleksi bukunya cukup lengkap—sebagian besar buku lama—dengan ruang baca yang nyaman. Jendelanya menghadap pohon yang bentuknya menyerupai beringin raksasa, dengan janggut yang menjulur panjang, hingga menyentuh dudukan di bawah—juga senantiasa dihinggapi burung-burung kecil bersayap kelabu. Secara berkala, Chi meminjam buku-buku di perpustakaan itu, lalu menyusunnya di meja.

Adakalanya kami pergi mengunjungi toko buku bekas di seberang Gereja Bunda Maria dan membeli sekantong besar buku yang lalu disusun di mana pun kami menemukan ruang kosong—dan meja menjadi yang tertutup pertama kali. Chi selalu merawat buku-buku bekas yang dibelinya, satu per satu—membuka lekukannya, memeriksa halamannya, memperbaiki kovernya, melapisinya dengan karton, dan menyampulnya dengan mika. Kondisi buku-buku itu menjadi jauh lebih baik begitu menerima perlakuan Chi yang sabar.

Ketika aku sibuk menulis, aku mencium aroma teh yang enak sekali, aroma melati yang hangat, mungkin dengan sedikit vanila. Aku berpaling. Ternyata Suster Kiarra sudah berdiri di belakang mejaku, tapi dengan jarak yang cukup sehingga aku yakin dia tidak mengintip. Meski aku tidak keberatan siapa pun melihatku bekerja, aku menghormati keputusannya.

Boleh melihat?

Aku mengangguk.

Dia membawa nampan berisi tiga cangkir teh dan lima buah roti yang bentuknya melengkung menyerupai bulan sabit. Aromanya harum—menciumnya saja sudah membuatku membasahi bibir. Aku baru menyadari rasa laparku. Bahkan Chi Vivian yang sejak beberapa saat lalu masih lelap, langsung terjaga dan menyembulkan kepalanya di antara lipatan selimut. Chi memejamkan mata lalu menengadah mengejar aroma manis dengan hidungnya. Dia semingrah begitu melihatku dan Suster Kiarra, tapi terutama ketika mendapati apa yang dibawa Suster. Croissant! Oh ternyata namanya Croissant. Tapi, bukankah terlalu banyak? Suster tertawa, stoknya masih banyak di kantin. Sepertinya Nenek salah perhitungan. Tapi, sebanyak apa pun, pasti nantinya habis juga. Saat hujan turun, kantin mendadak menyediakan begitu banyak makanan — sebab biasanya sulit mencari makan di luar

Jadi, sekalian saja aku mengambil lima. Barangkali ada yang mau tambah, sebab jarang-jarang kantin memasak Croissant. Apalagi ini Croissant Perancis, lebih enak dari Croissant belanda.

Memang apa bedanya?

Suster Kiarra hanya mengangkat bahu. Itu sajha yang dikhatakhan Nenek, ujarnya dengan mulut penuh.

Aku mengenal Nenek. Nenek selalu menyanyikan lagu Desaku saat sendiri. Aku bertanya kepada Chi seperti apa suaranya. Indah, tetapi sedih. Sepertinya kampung Nenek berada nun jauh di sana.

Kantin sanatorium terletak di belakang ruangan yang terhubung dengan sayap lain bangunan. Pengelolanya para penghuni lama yang biasa kami juluki kakek dan nenek. Mereka memanfaatkan bahan-bahan yang ada dan menyulapnya menjadi makanan yang enak. Setiap penghuni boleh mengambil berapa saja secara cuma-cuma.

Ketika pertama kali mengunjunginya, Chi dan aku bingung. Ternyata di dunia ini masih ada yang gratis—tapi sebenarnya tidak juga, orang tua kami sudah membayar biaya inap beserta makanan di kantin, tapi anggap saja begitu. Meskipun sederhana, makanan di kantin lengkap, dan—terutama—hangat. Chi sangat suka kue keras yang entah apa namanya, yang menurutku teksturnya seperti batu—hanya saja sedikit lebih lembut. Katanya, Nenek membuatnya semalaman, tanpa pengawet dan pengembang instan. Beliau harus menyimpannya satu malam supaya adonan mengembang seraya menabur terigu secara berkala. Memang keras dan berat, tapi kalau dicelupkan kopi, rasanya jadi enak sekali, kata Chi. Sayangnya aku tidak boleh minum kopi. Pernah sekali aku mencoba, perutku sakit sepanjang hari.

Selamat pagi. Suster Kiarra mengucapkannya dengan bahasa isyarat.

Pagi, Suster. Aku tersenyum. Lalu memandang Chi. Pagi juga, Chi. Saat mengambil Croissant bagianku, aku menyadari ternyata Suster Kiarra tidak mengenakan seragamnya. Dia memakai kemeja lengan panjang di balik jaket kelabunya.

Setelah menyantap habis sarapan kami, aku memutuskan kembali berbaring. Meski inspirasi di kepalaku belum habis, aku enggan melanjutkan menulis, tapi aku sudah merangkum semua gagasan di belakang buku. Biasanya, selagi masih sanggup, aku menulis hingga habis tak bersisa, tapi suasana hatiku mendadak muram, mungkin pengaruh cuaca.

Aku berbaring menyamping dan memusatkan pandang kepada jendela yang menebal dibasahi embun. Udara di dalam dingin, tapi di luar pasti lebih dingin. Kabut menyebar di atas permukaan tanah dan merambat naik merayapi udara sepi. Jalan setapak di depan jendela berubah menjadi seputih bulan.

Tiba-tiba saja, aku teringat sajak All Things Will Die karya Lord Alfred Tennyson dan ingin membacanya lagi. Aku kembali berjalan tanpa mengenakan sandal, lalu mengambil sebuah buku di meja samping lelapku—tempatku mencatat sajak-sajak yang menurutku indah—beserta terjemahannya, jika perlu. Pada halaman depan, aku mencatat Derai-Derai Cemara karya Chairil Anwar, Padamu Jua karya Amir Hamzah, dan Tentang Tuhan karya Sapardi Djoko Damono. Aku juga mencatat sajak Di Hadapan Mata Jendela karya M Aan Mansyur, yang menghabiskan empat halaman buku sekaligus.

Sajak berbahasa asing pertama yang aku catat ada di pertengahan buku, Nirvana karya Charles Bukowski. Lalu nukilan sajak yang aku dapat dari film Dead Poets Society.


kumpulkanlah kuntum-kuntum bunga selagi bisa,

masa lalu masih ada;

dan bunga ini yang tersenyum hari ini,

besok akan mati.


___


Gather ye rosebuds ye may,

Old time is still a flying:

And this same flower that smiles today,

Tomorrow will be dying.


Lihat selengkapnya