Karena tidak tahu bagaimana harus mengakhirinya, aku biarkan saja ceritanya menggantung di ujung alinea. Sebenarnya aku ingin segalanya terang. Esok, ketika Sofia terjaga, seorang nenek sudah menunggunya di halaman—duduk di bangku seraya memandang buncis-buncis segar yang harus disiangi sebelum siang menjelang. Tapi, karena tidak tahu apa yang terjadi nanti, aku memutuskan berhenti, lalu berbaring dan bermimpi. Noda hujan di langit kamar seolah peta pulau yang setiap titiknya mewakili suatu daerah—entah kota atau desa.
Lalu, saat aku menera-nera seperti apa masyarakat yang tinggal di dataran besar sana—sebuah negeri yang dikelilingi bukit dan lembah dengan rumah-rumah beratap merah—sebenarnya hanya renjisan terbesar di tengah "peta"—panorama di sekitaku memudar, digantikan sesuatu yang menyerupai kabut, hanya saja lebih lembut, lalu kabut pun menguap, dan aku menjadi pemerhati di sudut tak terlihat. Aku ada di rumah kami yang sarat suara ombak, di pulau seberang, dalam kamar yang redup tetapi teduh, ditingkahi sayup daun-daun di depan jendela. Lagi-lagi masa lalu mengintip di antara waktu, bagai pepohonan yang melambai tertiup kesiup, dalam kerjap, bulan yang sejak tadi tersembunyi di rapatnya dahan, menampakkan wujudnya.
Bertahun-tahun silam, saat kantuk tak jua datang, Chi mengambil ensiklopedia kereta api di rak kecilnya, lalu duduk di dekat bantalku. Dia membuka halamannya yang memudar, baunya apak, dan sampulnya hampir setua waktu. Mungkin sebagian isinya sudah tidak relevan lagi, tapi Chi sangat menyayanginya. Dia menganggapnya harta karun berharga.
Chi membuka lema yang merangkum daftar nama stasiun, lalu menyuruhku memilih satu di antara sederet nama. Aku yang dulu belum lagi naik kereta, bahkan melihatnya pun belum, semua nama di ensiklopedia terasa asing, seolah diambil dari negeri yang ada di relung pejam. Tapi tetap saja aku menuruti permintaan Chi.
Setelah aku menunjuk suatu nama—mungkin Kalayangan atau Jatibarang—Chi memadamkan lampu dan bertelut di sampingku. Nama-nama stasiun memberinya bahan yang cukup untuk mengurai sebuah cerita. Saat memandang langit-langit sanatorium, aku teringat pada salah satunya.
***
Kereta yang kami tumpangi melaju di permukaan samudra raya. Jendelanya menghadap cakrawala tak terbatas. Gerbong-gerbongnya menyusuri rel yang mengambang di antara ombak. Setiap gelombang menggetarkan bangku yang kami duduki. Bayangkan tak ada penumpang lain di peron ini—dan di sekitar kami bangku-bangku kosong belaka. Kami duduk membelakangi jendela besar yang menghadap samudra. Bayangkan ada pohon-pohon yang menyembul begitu saja di sana-sini, dan suara burung-burung, dan bisik jangkrik, dan derik tonggeret—meneduhkan sepanjang perjalanan. Setelah melaju di malam yang seolah abadi, pagi akhirnya datang jua. Kereta berhenti di seberang rimba yang dirindangi pohon-pohon berdahan rapat. Kereta berhenti di depan stasiun yang terasing di pesisir.
Kami memasuki jalan setapak di dalam hutan dengan lentera di tangan. Udara hutan bercampur dengan aroma kayu mati dan jasad dahan-dahan. Kabut menyusup di celah-celah tanah, setiap langkah menggemakan kerpas. Entah sudah berapa lama kami berjalan, langit masih hening, embun sayup. Lalu, setelah lelah melangkah dan dahaga kian tak tertahan, kami sampai di desa kecil yang dihuni para malaikat—lengkap dengan sayap di punggung mereka, yang sayangnya bukan untuk terbang, dan lingkaran redup di atas kepala, menjadi penerang saat berjalan pada remang petang. Sepanjang waktu, para malaikat menjalani hari-hari yang bersahaja saja, hampir tanpa gejolak, di asrama Bintang Utara, sebuah bangunan tua yang dindingnya sudah secokelat waktu.
Letak "surga" yang kami kunjungi ada di sebuah kota kecil—mungkin Jatibarang, Pirusa, atau nama lain yang sepenuhnya terlupa. Hanya ada barang-barang bekas di sana. Karena sudah terlelap sebelum Chi menyelesaikannya, aku tidak terlalu mengingatnya. Ketika aku menanyakannya, rupanya Chi juga sama. Apa boleh buat, ada begitu banyak cerita yang disampaikannya dan semuanya spontan—ketika memikirkannya, mau tak mau aku merasa sayang. Satu yang jelas, tidak sulit membayangkan suasana malam ketika Chi mengisahkannya.