Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #12

Hujan Turun Sepanjang Jalan (6)

Saat Chi duduk di kelas lima sekolah dasar, Nenek menghadiahinya walkman hitam Sony, lengkap dengan beberapa buah kaset. Mereka membelinya di sebuah supermarket dua lantai—Arina—yang terletak di samping pasar teluk. Kini supermarketnya sudah tutup dan menjadi sarang anak-anak jalanan.

Walkman-nya masih bekerja dengan baik dan Chi masih selalu membawanya, untuk mendengar satu dua kaset setiap hari. Hampir setiap malam, ketika terjaga di pertengahan pejam, aku mendapati Walkman-nya tergeletak di samping bantalnya, terkadang masih menyala, dan terkadang tidak. Ujung kabel earphone-nya tak terlihat. Chi tidur dengan selimut menutupi wajahnya.

Saat masih kecil, karena penasaran aku iseng memencet tombol merah di sudut Walkman, di sebelah tombol play, dan, tanpa sadar, menimpa isi kaset dengan rekaman baru. Saat mengetahuinya, Chi marah. Albumnya jadi rusak—dan itu tepat di lagu yang dia suka. Karena dia mendapatkan sebagian besar kaset dengan meminjam koleksi orang tua kami, jika ada yang rusak, susah mencari gantinya. Dia harus mencarinya di toko kaset bekas—itu pun belum tentu ada. Sialnya, yang aku "timpa" adalah kaset Badai Pasti Berlalu versi Chrisye & Berlian Hutahuruk saat Chrisye masih memakai nama panggung Christian. Sudah langka sekali.

Sepanjang ingatanku, itu pertama dan terakhir kalinya Chi marah kepadaku. Biasanya dia selalu sabar sebesar apa pun kenakalanku. Saat aku berulah, adakalanya Chi Nesia marah, Ibu dan Ayah habis sabar, tapi tidak dengan Chi Vivian. Hal terburuk yang dia lakukan kepadaku adalah pengabaian, dan pengabaiannya menghancurkan hatiku. Syukurlah, dia selalu luluh saat aku mendekatinya. Dia selalu mengulurkan tangan, memeluk, dan membelai rambutku, dan aku dapat bermanja berlama-lama di pangkuannya, lalu tanpa sadar aku sudah larut dalam dongeng-dongeng indah yang diceritakannya. Karenanya, kemarahannya selalu mengejutkan dan membuatku patah hati. Aku tidak menekannya lama, mungkin hanya 10-20 detik, dan aku sama sekali tidak mengerti kenapa dia semarah itu.

Tapi sekarang, justru karena kecelakaan itulah, album ini jadi penuh kenangan, katanya. Kamu merekam suara laut di jendela dan menyanyikan Ambilkan Bulan, Bu. Aku jadi merasa sayang kenapa kamu tidak merekamnya lebih lama. Maafkan aku, ya.

Benarkah?

Chi mengangguk.

Aku masih membawa kaset itu.

Aku ingat, di tengah lagu Pelangi-lah terselip rekaman suara ombak dari jendela rumah kami—dan Ambilkan Bulan, Bu yang dinyanyikan dengan sumbang tapi kata Chi merdu sekali. Aku penasaran, seindah apa bulan yang kaulihat di jendela kala itu, hingga kau merasa perlu menyanyikannya sebuah lagu? Chi bertanya suatu ketika. Tapi aku tidak mengingatnya. Beberapa kali kemudian, Chi membeli kaset kosong untuk merekam suaraku, suara kami. Kami bernyanyi bersama dengan iringan gitarnya, dan kami biarkan jendela terbuka, agar laut ikut bersenandung, agar sekawanan camar yang belum tidur meramaikan juga. Chi pun banyak menciptakan lagu, yang lalu dikumpulkannya dalam tumpukan kaset. Beberapa lagu-lagu itu kuhapal di luar kepala, dan kerap kunyanyikan dalam keheningan hatiku—dan menyesali yang tak lagi mampu kuingat.

Chi membawa kaset Jikustik juga?

Lihat selengkapnya