Setelah menyalakan lampu baca, aku mengambil buku Catatan Mimpi dan Puisi di samping bantalku; kelak, aku menyingkatnya menjadi Buku Bantal saja, seperti Sei Shonagon menamai catatan-catatannya, The Pillow Book. Sesuai dengan judulnya, buku ini merangkum semua mimpi dan puisiku.
Sudah beberapa hari berselang, setelah sekian lama hanya menjadi pembaca, aku mulai mencoba menulis puisi. Puisi-puisiku tidaklah sempurna, aku tahu, tapi aku menulisnya dengan melibatkan seluruh perasaanku. Meski begitu, terkadang aku hanya mengabadikan pengalaman sehari-hari yang sesungguhnya bersahaja saja.
Beberapa saat lalu, karena tidak tahu harus menulis apa, aku bertanya kepada Chi, bagaimana cara merangkai sajak yang baik. Chi bingung. Namun, setelah berpikir sejenak, dia memberiku beberapa saran. Sayangnya, saat aku menulis ini, aku sama sekali tidak ingat apa yang dia sampaikan.
Aku menemukan buku kecil Vita Brevis di sebelah Buku Bantal-ku. Aku mengambilnya dengan sangat hati-hati seolah itu sayap kupu-kupu yang sudah lama mati. Saat membaca pesan yang terlampir di halaman depannya, air mata membasahi pipiku. Semula hanya rintik gerimis, tapi lama-lama menderas. Padahal yang tertera hanya sebaris pesan sederhana. Terima kasih. Sampai jumpa lagi.
Aku menyembunyikan kepala di balik bantal dan membiarkan tetes-tetes tangis merembes di sana. Barulah setelah air mataku berhenti mengalir, aku mengenang kembali bagaimana buku ini bisa ada padaku.
Meski ada nama Jostein Gaarder pada sampul depannya, sebenarnya bukan beliau yang menulis Vita Brevis, melainkan perempuan bernama Floria. Setidaknya, begitulah yang Gaarder katakan di Kata Pengantar.
Pada tahun 1995, ketika mengunjungi pameran buku di Buenos Aires, Jostein Gaarder menemukan sebuah manuskrip di dalam kotak arsip tua berwarna merah dengan label Codex Floriae. Sebaris salam pembuka tertulis dengan huruf-huruf besar di halaman depannya: FLORIA AEMILIA AURELIO AUGUSTINO EPISCOPO HIPPONIENSI SALUTEM. Salam dari Floria Aemilia kepada Aurelius Augustinus, Uskup Hippo. Itu mengejutkannya.
Mungkinkah surat ini ditujukan kepada teolog sekaligus Bapa Gereja yang sejak pertengahan abad keempat menghabiskan sebagian besar hidupnya di Afrika Selatan itu? Dari seorang yang menyebut dirinya Floria?
Akhirnya, Gaarder membelinya dengan harga lima belas ribu Peso. Inilah salinan Codex itu—Vita Brevis, yang versi terjemahannya diterbitkan Jalasutra pada tahun 2008.
Sudah berkali-kali aku membaca Vita Brevis. Kadang hanya menelusuri bagian-bagian yang ditandai atau digarisbawahi. Kadang seluruhnya.
Tidak apa, kata Chi pada suatu ketika, pada waktu, keadaan, dan kesempatan yang berbeda, buku yang sama akan memberi dampak yang berbeda pula. Dan aku menyetujuinya.
Vita Brevis adalah gugatan Floria Aemilia terhadap Santo Agustinus, biarawan Kristen yang hidup pada abad kelima Masehi. Sebelum mengucapkan kaul kekalnya, Agustinus menjalin hubungan romantis dengan seorang perempuan. Dia terpaksa meninggalkan Floria bersama "buah dosa"-nya—anaknya sendiri.