Sejak duduk di bangku sekolah dasar aku sudah mengenal Puri. Dia datang pada pertengahan semester II kelas 4 SD, sebagai gadis kecil pendiam yang hanya mengangguk dan menggeleng ketika ditanya. Karena sifatnya yang demikian, Puri terkesan dingin di mata kami. Meski begitu, sosoknya yang kecil dan langkahnya yang hati-hati, membuatku ingin mengenalnya lebih dekat.
Bangku Puri ada di depan bangkuku tepat. Untuk meraih bahunya, aku cukup menjulurkan tangan, tapi entah kenapa, selama berbulan-bulan, aku enggan melakukannya. Tanpa aku sadari, rambutnya yang panjang tergerai menjadi pemandangan yang menghiasi masa kecilku. Aku sangat menyukai rambutnya. Dan ketika dia harus memotongnya, hatikulah yang hancur berkeping-keping.
Dia selalu menghabiskan jam istirahat dengan menyendiri di dalam kelas, membaca buku-buku ensiklopedia yang terlihat terlalu besar dibandingkan dengan tangannya yang mungil. Di balik jendela, aku kerap mendapatinya menghapalkan sesuatu.
Pada suatu hari, ketika dia asyik membaca, aku memberanikan diri menyapanya. Aku berkata, aku punya kakak perempuan yang juga suka membaca.
Dia tersenyum. Dengan kepala sedikit menunduk, dia berbisik, "Be—benarkah? Aku senang mendengarnya. Aku ingin bertemu dengannya." Aku mendapati rona merah jambu di pipinya. Mungkin dia malu, sebab, selain ya atau tidak, dia jarang sekali bicara, apalagi kami belum terlalu banyak bercakap-cakap.
Bertahun-tahun kemudian, di kamar inap rumah sakit, ketika aku menjenguknya, dia berkata, Kalaupun ada yang aku rasakan ketika kita pertama kali bertukar kata, pasti bukan malu. Alih-alih, aku begitu gembira, bahkan bahagia, akhirnya ada seseorang yang mau menjadi temanku. Setelah kepindahan itu, aku yang takut menjalani hari-hari seorang diri, dapat bernapas lega.
Sayangnya, setelah menyapa Puri, kami kembali memasuki dunia kami masing-masing. Dia dengan bukunya. Aku dengan diriku. Setelah jam pelajaran berakhir, aku terbiasa menghabiskan waktu bersama anak-anak lain—entah bermain bola atau gameboy di depan gerbang sekolah; saat menulis ini, aku jadi ingat betapa tomboi-nya diriku dulu.
Namun, pada suatu hari, Purilah yang mendatangiku. Aku tak ingat apa yang kami perbincangkan sebelumnya, tapi di ujung percakapan, kami berjanji pulang bersama. Sayangnya, aku melupakannya dan bermain hingga jelang sore—bahkan sampai ditegur guru. Dan ketika aku melewati taman yang letaknya di sebelah sekolah, aku mendapati Puri duduk dalam naungan rindang beringin—menungguku. Aku takut menghadapi amarahnya, tapi Puri malah mengambil tasnya, lalu tersenyum menyambutku. Dengan langkah riang, dia menyamakan irama berjalanku seraya menggenggam tali ranselnya erat-erat.
Ah, ternyata dia tidak selalu menunduk.
Setelah kami menjadi sahabat dekat, aku jarang melihatnya menunduk. Dia lebih banyak tersenyum dan tertawa.
Dalam perjalanan pulang, kami melewati jalan menurun yang dinaungi barisan pepohonan kecil. Di seberang kami, ada railing jembatan yang menghadap lautan luas. Jika memejamkan mata, aku seperti mampu mendengar suara ombak dan dekut burung-burung di cakrawala. Namun, ketika aku meraihnya, lagi-lagi hanya onomatope yang tertangkap.
Rumah kami ternyata searah dan selisih jaraknya pun tidak terlalu jauh. Biasanya, kami berpisah di persimpangan, di depan warung kelontong tua yang pintunya sudah lapuk dimakan rayap dan dinding-dindingnya sama cokelat dengan tanah. Di dalam warung, hanya ada satu etalase yang menyediakan segalanya dalam jumlah minimal—peralatan kantor, pensil, pulpen, penggaris, cairan pengkoreksi, minyak goreng, gula dan garam yang sudah dibungkus per kilo, hingga sabun cuci. Pemiliknya sepasang kakek-nenek yang belum terlalu tua—usianya sekitar lima puluh tahun. Jika dilihat dari luar, kau takkan tahu bahwa warung itu juga menjual es krim homemade yang rasanya enak sekali. Saat pertama kali aku memberi tahu Puri—dan meneraktirnya pula—dia jadi sering mengajakku menghabiskan siang di sana. Dengan es krim di tangan, kami duduk di bangku bambu yang menghadap jalan. Hampir sepanjang waktu, jalan itu sepi. Hanya sesekali pickup pembawa ikan melewatinya.