Malamnya, karena tidak mau terburu-buru, sebelum tidur, aku mengambil jam penguinku, dan menyetelnya pada pukul tiga tiga puluh. Aku meletakkannya di samping bantal, dan berharap getarnya yang samar dapat membangunkanku, tapi hingga larut rupanya lelap enggan datang, memejam pun percuma. Saat akhirnya aku tertidur, barangkali malam sudah terlalu larut, sehingga saat esok tiba dan bunyi jam sayup-sayup sampai, Chi Vivian-lah yang lebih dulu terjaga. Dengan terkantuk-kantuk, dia menggoyang-goyang badanku, dan ketika aku membuka mata, dia kembali bergelung nyaman di kasurnya. Aku menyibak selimut, memakai selop, dan menuju pintu, langkahku terbata terlangut-langut, tapi begitu udara subuh yang gigir menerpa, kantuk seolah ikut pergi bersama embusnya, tapi aku langsung menutupnya lagi, dan buru-buru mengambil jaket di lemari. Chi bangun beberapa saat kemudian dan memaksa ikut denganku. Langit masih gelap, dia takut aku kenapa-napa. Dasar pencemas. Tapi aku sebenarnya lega Chi ikut.
Tanyaku, Apa tidak merepotkan?
Jawabnya, Tidak, kok. Rasanya sudah lama kita tidak mencari kerang bersama.
Jadi, dengan lembut aku menggamit lengannya. Kami bersenandung tipis-tipis, takut mengganggu senyap, takut mengganggu burung-burung yang masih lelap. Di bawah sinar bulan purnama, air laut berkilauan, berayun-ayun ombak mengalir, ke pantai senda gurauan. Pelan-pelan saja kami mendaki jalan yang Puri lalui setiap hari. Langit subuh yang dipenuhi bintang mengilau memukau kami. Kata Carl Sagan, "Setiap bintang mungkin menjadi matahari bagi seseorang." Aku setengah mendongak, memandang satu yang paling cerlang, entah berada di rasi apa, di mataku gugus pendar itu menyerupai malaikat Natal—tapi aku ragu, adakah rasi malaikat itu—barangkali ada gadis kecil sepertiku di saujana yang jauh itu, yang memandang kepadaku seperti aku memandangnya. Tentu, jika benar begitu, cakrawala pasti tak sunyi lagi.
Langit masih membentangkan pemandangan yang sama ketika aku melangkah dalam rimbun pepohonan yang berbaris rapi di sepanjang jalan; sekalipun berbeda-beda jenisnya, sama teduh dan rimbunnya—aku sudah berhenti memandang bintang-bintang dan memilih memperhatikan sekitar saja. Chi bersedekap di balik jaketnya, menyembunyikan tangan di ketiaknya masing-masing, dan melangkah dengan punggung sedikit membungkuk, sepertinya dingin sekali, tapi aku sendiri tidak terlalu merasakannya, malah cenderung hangat. Dalam gelap subuh, pasar yang sepanjang hari ramai menjadi sepi, jalan yang senantiasa sepi menjadi lebih sepi lagi. Hanya laron-laron dan ngengat yang masih terjaga, mengerubungi lampu-lampu jalan dan mesin penjual otomatis, yang menawarkan berbagai minuman kaleng, dengan cahaya lampun yang menyolok. Bunyi statisnya mengisi udara sunyi dan menciptakan suasana ganjil, tetapi juga galib. Sesekali terlihat becak-becak pembawa sayur dan buah menggelinding menuruni jalan setapak kemudian menghilang ditelan kegelapan jalan. Beberapa di antaranya menyapa kami. Meronda? Tidak, bukan. Joging, jawab Chi. Begitu sampai di ujung setapak, Puri sudah menunggu di balik pagar rumahnya dengan jaket merahnya yang kelak menjadi ciri khasnya. Dia membuka pagar dan mengejar kami dengan setengah berlari. Dia terheran-heran melihatku yang membawa tas dan ember berisi sekop, garuk, dan kantung plastik ziploc, tapi lebih terheran saat melihat Chi. Maaf mengganggu kencan kalian, kata Chi.
Puri terlihat terkantuk-kantuk seperti kami, tapi begitu berdiri di udara terbuka, rasa kantuknya menguap. Alih-alih, dia terpukau memandang bulan terang yang besar sekali di kaki langit. Jaraknya terasa dekat, seolah mampu dijangkau jemari. Bahkan, kami cukup yakin mampu menjangkaunya. Purilah yang pertama-tama mengangkat tangan tinggi-tinggi, setinggi mungkin, bahkan berjinjit, berusaha meraih bulan, yang barangkali tidak setinggi dahan terendah pohon mangga itu. Aku mau ikutan, tapi didahului Chi yang segera mengikuti Puri — mengangkat tangan setinggi mungkin dan berjinjit setipis mungkin, seperti penari balet. Jadi, di sinilah kami, satu remaja dan dua gadis kecil, yang pada subuh belia, melakukan atraksi seperti ritual pemujaan suatu sekte. Sekte Pemuja Bulan. Kami jadi tiga penyihir yang hendak mencuri bulan! Ketika sebuah mobil pikap berhenti di samping kami, tentu setelah terbengong-bengong melihat tingkah kami, aku segera menyembunyikan rona merah di pipi. Rupanya Pak Karto, nelayan yang tinggal di puncak bukit. Dia menanyai tujuan kami. Chi menjawab, Teluk Bintang Laut, Pakde. Karena searah, Pak Karto menawari kami tumpangan di bak belakang pickup-nya. Ada bagian yang tidak terisi ember-ember ikan, kalian boleh duduk di sana. Maaf, ya, tapi di depan sini sudah penuh. Tentu kami mengiakan. Singkat cerita, berakhirlah kami duduk di antara bak-bak ikan. Chi dan aku sudah terbiasa mencium bau ikan segar yang hendak dipasarkan, tapi rupanya Puri tidak. Dia menekan hidungnya kuat-kuat dan berkali-kali terlihat ingin muntah. Chi membiarkannya bersandar di bahunya dan berkata, tidak apa, tidak apa kalau belum terbiasa. Tapi jangan muntah, ya, soalnya ini barang dagangan. Chi mendekatkan botol kayu putih di hidung Puri.
Saat sampai di teluk, kami duduk di samping Gereja. Bau amis rumput laut, selada laut, remis, kepiting, dan bintang laut, terasa tajam, tapi Puri sepertinya tidak menyadarinya. Mungkin dia sudah terbiasa dengan bau amis ikan segar di bak belakang mobil Pak Karto. Samar-samar terdengar desing sayap serangga, suara kulit remis yang mengatup, dan desir air surut yang merembes di sela bebatuan.
Karena baru pertama kali melihat Gereja Katolik yang namanya diambil dari teluk, bukan Santo atau Santa, Puri heran. Kata Chi, para nelayanlah yang memberinya nama itu. Bukan Paroki? Bukan, jawab Chi. Ceritanya panjang. Karena papan namanya sudah lapuk, seluruh penduduk bahu-membahu memperbaikinya. Namun, mereka lupa siapa Santo yang dipilih sebagai nama stasi ini. Jadi, di papan yang baru, kami menulis Gereja Bintang Laut saja seperti ia biasa dikenal; dan sepertinya tidak ada yang keberatan, bahkan pihak Paroki tidak melayangkan protes; lagipula, daripada Santo tidak dikenal dari tempat tidak dikenal yang jaraknya mungkin ratusan ribu kilometer dari tempat ini, nama Bintang Laut terasa lebih dekat, kata Chi seraya meluruskan kakinya. Aku suka nama itu.
Aku juga.
Aku juga.
Meski disebut "Gereja", sebenarnya bangunan itu kecil saja. Tidak ada satu pun biarawan yang menetap di dalamnya. Setiap Minggu, Romo Paroki dari kota Kalayangan datang dengan Kijang tuanya. Namanya Romo Franky. Saat memimpin Misa, beliau selalu memilih lagu-lagu berbahasa Latin di buku Puji Syukur dan membuat petugas koor dan jemaat yang sehari-harinya berbahasa daerah, harus berjerih membiasakan lidah. Pada akhirnya, penduduk setempat jadi mahir menyanyikan lagu-lagu Latin. Pada malam Natal, kami sanggup menyanyikan Alma Nox tanpa perlu melihat teks.
Stasi Bintang Laut berdiri di atas tumpukan batu yang akan digenangi air jika pasang sedang tinggi-tingginya. Tempat ini membuatku teringat kepada cita-cita Yesus yang ingin membangun Gereja di atas batu karang. Aku yakin Dia akan senang mengunjungi Gereja ini. Ketika aku menyampaikan gagasanku kepada Romo, beliau memberitahuku, bahwa yang dimaksud Yesus bukan "batu karang" secara harfiah, melainkan Santo Petrus, murid pertama-Nya. Tapi aku tidak peduli. Romo tertawa.
Bagaimanapun, membangun Gereja di atas batu karang bukan pilihan yang buruk, apalagi di pesisir.
Setiap kali memimpin Misa, Romo Franky akan membuka jendela lebar-lebar untuk membiarkan suara-suara menyelinap masuk ke dalam Gereja. Deru ombak, camar, umbul-umbul dari perahu nelayan, angin yang mengalir sejuk dan hangat, nyiur pohon kelapa, menambah syahdu dan kudus jalannya ibadah, seolah seluruh alam ikut menghadiri Misa. Lagu-lagu dinyanyikan dengan hanya menggunakan organ tua yang nada D tingginya sudah tidak berbunyi.
Dengan senter tua yang tidak terlalu terang, aku menuntun Puri melangkah menuruni batu-batu karang di sebelah selatan jalan. Udara di sekitar kami gelap semata. Langit terang sarat bintang dan ada dia dewi purnama. Namun, entah bagaimana, cahayanya tidak sanggup menjangkau daratan. Awan-awan berarak pelan di ujung-ujung ufuk. Pendarnya melayang di pucuk-pucuk pohon aras yang mengelilingi bagian utara teluk. Di tebing karang, berdiri kokoh rumah-rumah mewah yang berkilau dibasuh pendar perak purnama. Beberapa jendelanya yang menghadap laut memantulkan cahaya pucat yang melambai-lambai sayup. Aku menggenggam erat tangan Puri yang belum terbiasa berjalan di curam bebatuan. Seraya merangkul bahunya, kami perhatikan medan yang merintangi laluan. Kami hindari batu-batu yang tajam atau kurang kokoh. Perhatikan jalan itu, jangan sampai terperosok, ulangku berkali-kali, lebih kepada diri sendiri. Angin berembus kencang di sekitar kami.
Setelah menuruni batu-batu, akhirnya sampai juga kami di teluk. Dinginnya air yang menggenang setinggi tumit membuat Puri bergidik. Pasirnya terasa lembap seolah mengunyahmu pelan-pelan. Namun, tak butuh waktu lama, Puri sudah terbiasa. Kami berdiri di pantai dan memandang Chi yang melambaikan tangan di samping Gereja.
Chi, ayo turun!