Karena kota kami hanya kota kecil di pesisir, perayaan tahun baru tidak terlalu berarti. Hanya pergantian hari yang biasa saja. Di sini, hanya ada dua toko yang menjual kembang api. Satu toko kelontong Emma (dibaca Émah)—tempat kami biasa membeli es krim homemade—satu lagi di seberang terowongan, toko permen kecil bernama Indo April. Sayangnya, Puri dan aku tidak berhasil mendapatkan kembang api. Habis.
Ketika aku sampai di kamar, Chi menanyakan apa yang membuatku bermuram durja. Aku menceritakan pengalamanku mencari kembang api bersama Puri dan rencana kami merayakan tahun baru dengan menyalakannya di pantai. Chi mendekatiku, lalu duduk di sebelahku.
Rasanya, Chi punya jalan keluarnya. Malam pergantian tahun masih besok lusa, jadi sepertinya masih sempat.
Aku tidak tahu apa yang dia rencanakan, tapi segera mengikuti ketika dia menuruni tangga untuk bertemu Ayah dan Ibu di ruang tamu. Aku mengintip dari balik railing.
Bu, Yah, bagaimana kalau besok kita merayakan tahun baru dengan berkemah di tepi sungai?
Jantungku berdegup ketika mendengarnya.
Tempatnya tidak terlalu jauh, tapi karena jalurnya menanjak dan berbatu, jarak tempuhnya sekitar dua jam dengan mobil. Ayah dan Ibu berpikir sejenak, tapi lalu menyambut gagasan Chi dengan antusias. Chi Nesia pun segera diberitahu. Dia tidak mampu menyembunyikan perasaan gembiranya. Ibu segera menelpon keluarga Puri untuk ikut serta.
Di sebelah tanggul sungai yang dijaga dengan railing, ada bantaran datar yang dipenuhi bebatuan. Di sanalah kami memasang tenda. Sebenarnya, kami curang, kami hanya sebentar berada di tenda, selebihnya, kami lebih banyak menghabiskan waktu di salah satu rumah penduduk yang menyewakan rumahnya per malam. Rumahnya kecil saja, hanya ada dua kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi. Ketika tengah malam hampir tiba, kami berkumpul bersama di depan tenda, menyantap semangkuk Indomie. Saat itulah, Chi mengajari Puri dan aku cara memancing kunang-kunang.
Ketika melihat Aurel yang hibuk menjaga ilalangnya agar kunang-kunang yang hinggap tidak lari, aku hampir saja meneteskan air mata. Aurel menyadari mataku yang memandangnya, lalu tersenyum seolah berkata ada apa. Aku menggelengkan kepala dan berkata, "Hanya merasa bahagia." Seperti mengulang kenangan.
Aurel tertawa. Aku juga, katanya.
Setelah memancing kunang-kunang, kami pun pulang.
Ketika menyusuri jalan setapak, ribuan cahaya menuntun langkah kecil kami. Aurel tidak henti-hentinya menari. Dan ketika tidak menari, dia melompat. Sosoknya yang bahagia justru yang paling terang di mataku, jauh lebih terang dibanding rembulan dan kunang-kunang—memandangnya membuat hatiku hangat.