Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #18

Vivamus, Moriendum est (1)

Esok paginya, saat aku membuka mata, tirai jendela di samping kasurku sudah terbuka. Aku memandangnya dengan tatapan yang mendekati nostalgia—seolah segala sesuatunya diterangi cahaya dari masa lalu. Cahaya itu berguguran menembus rimbun daun-daun di sepanjang setapak, meliputi kupu-kupu bersayap kuning yang berterbangan di antara dahan. Sayangnya, sisa warna yang kupunya tinggal sedikit. Warna-warna tua seperti marun, hijau lumut, dan biru bulan berubah menjadi kelabu tua, warna gelap menjadi hitam, dan warna hitam menjadi sekelam lubang hitam di pusat galaksi, sisanya diselubungi kabut tebal yang mendekati petang.

Namun, begitu menyadari ada yang berbeda pagi ini, aku memejamkan mata dan meletakkan telapak tangan di belakang telinga. Segera saja, aku mendengar suara yang samar, lamun, dan jernih, hampir mendekati mimpi. Biasanya, bunyi yang menyentuh telingaku seperti menembus berton-ton air, kedap dan muskil dipahami. Sekarang suara-suara itu jernih sekalipun jauh.

"Chi! Chi!" Aku berteriak, memanggilnya. Aku menghampiri dan memberinya pelukan erat. Dia mengelus rambutku dan tertawa. Aku—sudah lama sekali aku tidak mendengar tawanya. Ternyata masih seperti dulu, semerdu lonceng-lonceng kecil di halaman gereja Bintang Laut, atau laut pagi hari.

Dia berkata, ada apa, ada apa.

Aku bisa mendengar lagi!

Sungguh? Sekarang dialah yang memeluk dengan isak tangis membasahi rambutku. Hati Chi selalu—selalu sakit membayangkanmu tak lagi sanggup mendengar. Kamu, Lusi, suka sekali dengan musik, suara piano, hujan. Chi tidak bisa membayangkan kamu akan menghabiskan sisa hidup tanpa suara sedikit pun. Lalu dia memandang mataku—memastikan aku belum buta. Aku tersenyum dan berkata, aku masih sanggup melihat, kok. Barangkali aku takkan benar-benar buta. Segalanya memang menggelap, tapi aku merasa tidak kehilangan apa pun.

Lalu, ketika aku menggenggam tangan Chi seraya mengentak-entakkan kaki, aku mendengar suara ketukan di pintu. Ternyata Suster Kiarra. Dia membawa nampan berisi dua mangkuk bayam dengan potongan bawang merah dan jagung, dua piring udang rebus dengan kulit tidak dikupas, dua potong roti, nasi, secangkir kapucino, dan segelas besar teh. Maaf mengganggu pagi kalian, katanya. Kami tertawa lalu memeluknya juga. Dia sedikit senewen sebab hampir menjatuhkan nampannya.

Seraya duduk di lantai beralaskan karpet cokelat tua, kami menyantap bekal sarapan yang dibawa Suster Kiarra. Chi menceritakan kepadanya bahwa pendengaranku telah kembali, tapi aku menggeleng. Sayangnya tidak, tidak sepenuhnya kembali, kataku. Tapi aku bersyukur. Akhirnya aku bisa mendengar suaramu, Suster. Suster Kiarra duduk di dekatku, lalu menggenggam dua tanganku. Aku senang mendengarnya, katanya tulus.

Meski aku dapat kembali mendengar, tetap saja kau harus sedikit berteriak jika ingin berkomunikasi denganku, sebab sekencang apa pun suara itu, yang masuk ke telingaku tetap saja suara-suara selembut bisikan. Meski begitu, karena sudah lama hidup dalam kesunyian, aku langsung menyadari suara sehalus apa pun yang ada di sekitarku. Bahkan sekarang, ketika Chi dan aku berlomba mengupas kulit udang, aku tidak mampu berkonsenterasi. Di seberang jendela, burung-burung berkicau merdu dan angin berembus mesra. Chi membiarkan pintu taman dan jendela terbuka lebar.

Setelah selesai bersantap, aku izin kepada Chi untuk menghabiskan setidaknya satu jam di meja. Aku ingin menulis. Chi bertanya, apakah semalam aku bermimpi lagi? Aku mengangguk.

Bagaimana kabar Lusi-yang-lain?

Dia merindukanmu, Chi.

Aku menyesap teh manis dengan campuran madu dan berlama-lama menyentuh badan gelas yang masih panas. Aku sudah mencatat tiga halaman buku ketika mendengar Suster Kiarra dan Chi bercakap-cakap di beranda. Karena penasaran, aku berjalan menuju halaman. Suster Kiarra berdiri menghadap lukisan yang masih melekat pada kuda-kuda kanvas. Aku menyipitkan mata untuk melihatnya dengan jelas, dan ketika berhasil, denyut lembut di jantungku membuatku tergugah. Aku tidak tahu kapan Chi melukisnya, tapi rasanya mustahil jika dia menyelesaikannya dalam semalam. Memang, di sudut kamar dan di dekat pintu teras, ada beberapa papan kanvas yang tertutup kain. Barangkali ini salah satunya.

Lihat selengkapnya