Di Antara Kelahiran dan Kematianku, Ada Kamu sebagai Hidup

Rafael Yanuar
Chapter #20

Vivamus, Moriendum est (3)

Di seberang rumah kami, ada pulau kecil yang dikelilingi hutan lebat—bagian tak terlihatnya dipenuhi bakau, tapi yang menghadap rumah didominasi pohon-pohon akasia yang akarnya menghunjam Bumi. Saat cuaca tidak berangin, Chi dan aku menumpang perahu nelayan untuk mencapainya. Kami lalu bermain hingga senja datang. Pohon-pohon yang rindang dengan selisih jarak yang sama memenuhi pulau, entah siapa yang menanamnya.

Di pulau, wangi laut perlahan pudar digantikan aroma hijau daun-daun. Rasanya seperti berada di dunia berbeda, gaib sekaligus galib. Jika mengikuti jalan setapak di hutan azalea, ada hutan besar yang ditumbuhi pohon-pohon setua Bumi. Daun-daunnya yang lebar teduh menaungi, membuat udara yang semula membawa hangat laut menjadi sesejuk gunung. Dahan-dahannya menutupi langit dan menghalangi jalan cahaya. Tetapi, kami jarang menyusurinya. Biasanya kami memilih bermain di dekat pantai saja, di sebuah rumah tua yang entah sudah berapa lama ada di sana.

Rumah itu berdiri sendiri di pantai—tersisih dari masa yang lama silam. Dindingnya retak dan warna catnya pudar dihisap cuaca, atapnya ambruk, dan jendela-jendelanya pecah berserakan di lantai dan rerumputan. Suara ombak yang menghantam pesisir bergema di aula kosongnya, angin sepoi-sepoi berembus di kasau-kasau jendela, aroma laut, bercampur lapuk kayu dan semen, mengisi udara.

Pasir di sekitar tandus, kecuali potongan kayu apung atau kerang yang kadang-kadang tersapu air pasang. Lautan membentang sejauh mata memandang—menghampar biru tak berujung, berkilau dalam naungan matahari. Pada malam hari, ketika bintang-gemintang menghias langit, rumah yang terbengkalai itu seperti terasing dalam kesendirian—dan, jika aku membayangkan perasaan sepi yang menyelubunginya, mau tak mau hatiku dipenuhi kesedihan.

Meski sudah bertahun-tahun, penghuninya tak kunjung kembali, tapi aku yakin rumah ini tidak sepenuhnya kosong—sesuatu dari masa lalu masih tertinggal, mungkin hantu, kenang-kenangan yang menolak pudar, atau gema tawa dan air mata yang enggan selesai. Barangkali hanya bobot sejarah. Bagaimanapun, tempat ini telah menjadi saksi dari ribuan tragedi dan kemenangan kecil yang mungkin terjadi.

Entah ada angin apa, tahu-tahu aku sudah meninggalkan rumah dan memasuki jalan setapak yang dirimbuni pohon azalea. Aku berjalan mengikuti senandung yang melambai memanggil-manggil. Nadanya repetitif ibarat mantera dan ada iringan musik yang tak tentu nada tapi selaras—seperti ribuan biji cemara yang diaduk serentak dalam wadah kayu yang besar. Aku berjalan mengikuti sumber suara, seakan ditarik suatu tali gaib, lalu tahu-tahu sudah memasuki hutan yang dipenuhi kunang-kunang. Aku mengikuti jejak-jejak cahaya hingga sampai di tanah lapang dengan rerumputan hijau terbentang seolah nirujung.

Aku mendapati batu-batu reruntuhan kuno yang mungkin dulunya taman bermain di sekeliling padang. Tapi yang membuatku terenyak justru rel kereta tua yang sudah berkarat tapi masih bagus bentukannya. Entah siapa yang membangunnya, di pulau ini belum ada satu pun jalan kereta. Kata Chi, jika kau mengikutinya, jalur tersebut akan membawamu ke laut, dan akan terus menjulur hingga menghilang di cakrawala. Setelah menyeberangi cakrawala, rel itu pun masih akan menjelang hingga ujung dunia, yang tak lagi ada di Bumi.

Entah karena mengingat cerita itu, atau memang benar-benar terjadi, aku seperti mendengar deru kereta, begitu dekat seolah di sebelah. Aku sudah begitu kerap menjumpai hal-hal yang tak sanggup dijelaskan ilmu logika, tapi entah kenapa setiap kali mengalaminya perasaan yang memeluk hatiku justru mendekati ketenteraman, bukan ketakutan. Tak terkecuali saat itu—saat deru kereta nirbentuk lewat dengan tergesa di depan mataku yang tak sanggup melihat, disusul peluit yang nyaring dan panjang, yang membuat burung-burung di sepetak hutan kalut berhamburan.

Lihat selengkapnya