Di depan jendela, beberapa ekor kunang-kunang mengisi taman yang tadinya hanya dihuni sayup lampu dan muram malam. Aku mengambil tongkat berjalanku, lalu bertanya kepada Aurel, apakah dia menyukai malam kunang-kunang yang kami lalui bersama.
Aku bahkan sudah merindukannya.
Aku tersenyum menyusuri kebun yang sarat bunga—bahkan ayunannya pun dipenuhi vas—lalu menurunkan sakelar di dalam kotak lampu. Seketika gelap mengisi udara. Aku buru-buru mencari jalan menuju teras dengan mengandalkan penerangan redup di balik tirai.
Ketika kunang-kunang menerangi kebun, beberapa kenangan melesat di benak.
Baru setelah dirawat di sanatorium, aku menceritakan pengalamanku menghadiri perjamuan teh di hutan, juga mimpi-mimpiku setiap malam, kepada Chi. Dia menjadi pendiam selama beberapa saat, dan mengucapkan sepatah maaf dengan penuh penyesalan. Aku tidak mengerti.
Kenapa Chi meminta maaf?
"Seandainya aku tahu apa yang terjadi, mungkin sekarang kamu tidak menderita."
"Aku tidak menderita." Aku tersenyum. "Semua bukan salah Chi—dan bukan salah siapa-siapa. Aku bahkan tidak menyangka Chi mempercayaiku." Begitu saja aku lega.
Sebagai permintaan maaf, Chi melukis semua mimpiku—perpustakaan arwah, gubuk Chi Rika, kedai kopi Ranti, pekuburan tua, dan jalan setapak yang sisi-sisinya dikelilingi rimbun rimba. Dia berkata, melukis mimpi-mimpiku membuatnya kembali mencintai seni.
Suara ketukan di lorong membuatku kembali terjaga. Ternyata Chi. Gawat, aku lupa memberitahunya di mana aku berada. Dia pasti kalut mencari-cari adiknya yang menghilang sejak tadi. Di sanatorium, ada peraturan tidak tertulis untuk tidak mengetuk pintu kamar pasien. Sebagai tanda kamar kami boleh dikunjungi, kami sengaja tidak menutup pintu. Tapi Aurel selalu menutupnya. Jadi, jika Chi terpaksa melanggar, tentu dia punya alasan yang kuat. Apalagi jika bukan mencari adiknya yang nakal ini, yang seenaknya saja menghilang tanpa mengabari. Dia segera menghampiriku yang duduk di teras, tapi menahan diri tidak memelukku. Aku tersenyum dengan rasa bersalah dan berkata maaf. Lalu, Chi duduk di sampingku.
Aurel berdiri di kebun, di antara randu dan bunga matahari yang hampir layu. Dia mengangkat dua tangannya, tapi tidak menari seperti pada malam yang lalu, hanya berdiri di lautan cahaya. Dia terlihat seperti malaikat. Aku takkan terkejut jika sayap tumbuh di punggungnya.
Lalu, kami melihat Aurel tertegun memandang sesuatu. Dengan sedikit melonjakkan kaki, dia mengayunkan tangannya—memanggil kami. Dia bahkan melompat-lompat kecil. Cepat, cepat, seolah dia berkata. Ada apakah? Chi, Suster, dan aku buru-buru berjalan mendekati Aurel. Udara di sekitar kami gelap, tapi kami sudah terbiasa. Ketika berdiri di samping Aurel, aku tidak mengerti apa yang membuatnya tergugah. Langit nampak segelap biasanya. Satu-satunya yang terlihat hanya bulan separuh lingkaran dan kunang-kunang yang berkerumun di sekitar kami dengan cahaya hijau pucat. Tapi aku memandang Chi dan yang lain membeku memandang angkasa. Sebenarnya, aku ingin bertanya kepada Chi, ada apa di langit sana, tapi aku tak ingin mengganggunya. Namun, Chi tetaplah Chi, dia segera memahami apa yang aku rasakan, lalu berbisik memberitahuku. Di langit, ada hujan meteor. Bintang-bintang berjatuhan membuat malam menjadi sedikit lebih terang.
Ah—aku mengerti.
Meski tidak mampu melihatnya, aku mampu membayangkannya. Pasti indah sekali. Aku menangkupkan tangan dan berdoa—sayangnya, ketika aku menulis ini, aku sudah melupakan isi doaku.
Saat memandang bintang jatuh, aku teringat pada malam pergantian tahun di Gereja Bintang Laut. Setelah merayakan Misa, para jemaat memutuskan tinggal hingga lewat tengah malam dengan membakar ikan di pelataran. Kami bercengkerama hingga tanggal berganti.
Puri dan aku memutuskan memisahkan diri dari keramaian dan, dengan cangkir jahe manis di tangan, kami memilih duduk di puncak batu karang yang menghadap teluk Bintang Laut. Puri-lah yang pertama kali menyadari ketika setitik cahaya meluncur jatuh di angkasa—tidak hanya satu, tapi banyak sekali. Dia segera menangkup tangan dan berdoa. Aku tertawa, rasanya aneh sekali berdoa kepada bintang ketika di sebelahmu ada Gereja, tapi dia tersenyum. Tidak juga, jawabnya, tapi tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Karena sangat banyak bintang jatuh berjatuhan di langit, aku jadi ikut berdoa. Sepertinya belum terlalu lama berlalu, tapi aku tidak ingat apakah Chi juga ada bersama kami. Mungkin kami hanya berdua, sepasang gadis kecil yang terdampar di kelamnya alam semesta, berbagi hari-hari sunyi di pesawat luar angkasa yang jauh dari peradaban. Tepat setelah bintang jatuh terakhir lenyap ditelan gelap, Puri mengutip salah satu kalimat di buku Carl Sagan, Pale Blue Dot. Aku ingat kalimat pertamanya.
Setiap kali debu komet sebesar bulir pasir memasuki atmosfer Bumi dengan kecepatan tinggi, debu itu terbakar sehingga menghasilkan jejak cahaya sesaat yang oleh pengamat di Bumi disebut meteor sporadis atau bintang jatuh.
Dalam dongeng Gadis Kecil Penjual Korek Api karya Hans Christian Andersen, saat sehelai bintang melandai di langit kelam, berarti ada jiwa yang kembali kepada Allah.
Seindah apakah suara bintang jatuh? Mungkinkah sejernih kepak sayap malaikat di lelap tidurku?
Di teras belakang perpustakaan, di relung mimpiku yang sunyi, aku memandang langit yang dipenuhi malaikat. Bentuknya seperti bintang-bintang, berkelap-kelip menghias angkasa, hanya saja tak diam di tempat, tapi bergerak-gerak lincah menyerupai tarian yang indah.
Segera setelah pertunjukan berakhir, kami menyadari udara di sekitar kami mendingin, barangkali suhu sudah mencapai angka belasan. Dengan bibir bergetar, kami memasuki kamar dan berlindung di sekeliling dinding yang hangat. Ketika Chi datang mencariku, dia tidak menyadari betapa indahnya kamar Aurel. Tapi kini dia tertegun. Dia pandangi bunga-bunga yang memenuhi seisi ruang. Dia menghirup aromanya dalam-dalam. Bernapas bersama bunga-bunga membuat dadamu terasa nyaman. Perhatiannya terisap ketika matanya bersitatap dengan lukisan yang dipajang di dinding. Lukisan sepasang gadis kecil yang salah satunya sangat mirip Aurel, hanya saja usianya jauh lebih muda. Chi memandangnya lama sekali. Aurel menyadarinya.