London, September 2009
Bandara London City sudah ramai sejak tadi pagi. Satu per satu pesawat bergantian mendarat, mengantarkan para penumpang sampai di kota yang terkenal dengan menara jam Big Ben ini. Orang-orang bergerombol di pintu gerbang kedatangan sambil memegang kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak dijemput. Ada macam-macam nama dengan tulisan khas masing-masing.
Pukul 07.27 AM.
Seorang perempuan yang mengenakan kaos biru muda lengan pendek dan berambut terurai panjang baru saja datang dan memenuhi kerumunan orang di pintu gerbang tersebut. Tangannya sudah memegang kertas besar bertuliskan ‘ALYA HARSANA’. Dia sama seperti kebanyakan yang lain, mengangkat kertas itu tinggi-tinggi. Berharap Alya dapat melihat namanya terpampang jelas, walau sebenarnya kertasnya masih kalah tinggi dibanding orang-orang di sampingnya.
Alya, kamu dimana sih? celetuk perempuan itu dalam hati, sedikit panik. Kini ia masih berdiri mematung memandangi orang-orang berlalu lalang di hadapannya hingga tak lama ada seseorang yang menepuk pundaknya dari belakang.
“Nay! I’m here!” Seorang perempuan berambut panjang yang diikat satu tiba-tiba muncul dan menariknya keluar dari kerumunan.
Dialah Alya Harsana. Yang kini mengenakan sweater abu-abu, bercelana jeans, dengan tas selempang warna cokelat muda di pundak kanannya dan koper besar yang digiring tangan kirinya.
“Alhamdulillah kamu selamat, Al.”
Perempuan yang tadi berdiri mematung menunggu Alya langsung mendekap erat sahabatnya itu. Dia adalah Nayomi Fannani. Orang blasteran―ibunya asli keturunan Minang, ayahnya asli dari Inggris―yang lama tinggal di Indonesia hingga akhirnya ia bertemu dengan Alya saat kuliah S1 Teknik Industri di STT Telkom (namanya berubah menjadi IT Telkom pada tahun 2007). Seusai wisuda kelulusan sarjana yang baru saja diadakan sebulan lalu, dia memantapkan hati untuk tinggal kembali di Inggris. Selain untuk meneruskan kuliah S2 bersama Alya di jurusan ‘Management’ University College London, dia juga berharap bisa berkarir di negara ini mengikuti jejak ayahnya sebagai konsultan dari perusahaan ternama di Eropa.
“Bagaimana penerbangan pertamanya? Pasti menyenangkan,” ucap Nayomi sembari membantu Alya menggiring tas kopernya yang berat.
“Ya. Alhamdulillah, Nay.” Alya menjawab datar. Mendadak jadi teringat pertemuannya dengan Gilang terakhir kali.
Dia pun menghela napas panjang.