Di Antara Ribuan Jeda

Ghoziyah Haitan Rachman
Chapter #4

Gilang

Canberra, September 2009

Pukul 09.50 AM.

Bandara Canberra kedatangan pesawat qantas dari Melbourne di gerbang 11. Beberapa penumpangnya adalah yang transit dan pindah dari pesawat garuda asal Indonesia. Kini mereka semua berjalan keluar melalui pintu gerbang kedatangan. Segerombolan orang yang memegang kertas bertuliskan nama penumpang yang hendak dijemput sudah siap menyambut mereka. Satu per satu pun pergi. Sementara seorang laki-laki yang berambut sekitar satu sentimeter dan berjaket cokelat baru saja keluar dengan tas ransel di punggungnya dan satu koper kecil yang ditenteng tangan kanannya. Dia terus berjalan, lalu berhenti di pangkalan taksi yang terletak di lantai dasar terminal bandara.

Please, take me to this address. Can you?” pintanya sambil menyodorkan sebuah kertas ke sopir taksi. Tertulis di sana, 158 Lawrence Wackett Crescent Theodore ACT 2905.

Yes, Sir.

Segera dia duduk di jok belakang ditemani tas ransel dan koper kecilnya. Membiarkan taksi yang ia naiki mengantarnya ke alamat tujuan. Sesekali dia menerawang langit dari balik kaca jendela; pun melihat suasana di sekeliling jalanan kota Canberra. Tampak luas daratan hijau yang terhampar di sepanjang pinggiran kota. Kini yang terlihat tidak lagi sama seperti beberapa tahun ke belakang. Semuanya akan jauh berbeda.

Dia pun menghela napas panjang. Tidak ada lagi kamu, Alya, di kota ini.

Orang itu, yang sekarang tersenyum tanggung, adalah Gilang Adhikari. Laki-laki bermata bulat dan beralis tebal. Tubuhnya tinggi semampai. Anak bungsu dari tiga laki-laki bersaudara yang dilahirkan dari keturunan Sunda. Menjadi pembimbing salah satu laboratorium Teknik Industri di IT Telkom, ketika kuliah magister. Mahasiswa yang baru saja sebulan lalu dinobatkan lulus magister administrasi bisnis di ITB dan yang pertengahan Februari tahun depan akan memulai kuliah doktornya di jurusan ‘Business’ Australian National University.

“Wah, enggak sopan kau, Kar. Melewati kakak-kakakmu ini untuk menjadi doktor,” canda kakak kedua, Pratama, satu bulan yang lalu ketika adiknya yang hanya beda satu tahun darinya mendapatkan Letter of Acceptance dari universitas nomor dua di Australia.

“Bangga rasanya jadi kakak kamu, Kar,” puji kakak tertua, Pandu, lalu menepuk-nepuk pundak adiknya yang lebih muda enam tahun darinya.

Saat itu, Gilang―dari kecil sudah dipanggil ‘Akar’ oleh kakak pertamanya, yang kemudian diikuti oleh kakak keduanya―hanya menyeringai menanggapi mereka.

Saat ini.

Kak Pandu dan Tama. Gilang tersenyum lagi. Alhamdulillah, punya kakak seperti kalian. Tak lama dia memejamkan mata. Menikmati perjalanan yang mungkin masih panjang. Mencoba terlelap sebentar dalam puing-puing kenangan. Sebentar saja, sekali-kali, mengenang masa lalu bersama mereka yang nanti sulit, bahkan tak bisa ditemui lagi.

Tak peduli kau akan lupa tentang kita atau tidak. Tak perlu menghitung seberapa lama kita―mungkin hanya saya―menanti. Entah seberapa jauh kita berjalan berbeda arah. Semoga kita tetap bisa bertemu lagi di ujung perjalanan nanti, Al. Seperti dulu ketika Dia mengizinkan kita untuk saling bertatap muka pertama kalinya.

Lihat selengkapnya